Catatan Penting Buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat: Mark Manson

 

Catatan Penting Buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat: Mark Manson
Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat Karya Mark Manson.
Credit: Gramedia.com

Pembukaan

Salah satu buku pengembangan diri (self development) yang menjadi buku favoritku adalah "Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat". Buku ini ditulis oleh Mark Manson. Saya rasa sudah banyak blogger yang mengupas review atau ulasan tentang buku ini. Jadi saya tidak akan menulis lagi siapakah Mark Manson itu, buku ini membahas tentang apa, atau kekurangan-kelebihan buku ini. Di sini saya akan fokus pada catatan/kutipan yang saya ambil dari buku tersebut, alasannya adalah karena kalimat-kalimat di buku tersebut begitu mengena dan relate dengan kehidupan saya. Kemudian, saya akan mengembangkan kutipan tersebut dengan mengaitkan pendapat (opini) dan pengalaman yang pernah saya alami. Kemudian, saya buat cerita, dialog (percakapan) agar penjelasan yang telah saya paparkan bisa semakin mudah dipahami jika disajikan dalam bentuk cerita. 

Kutipan 1: 

Bertanya kepada diri sendiri secara jujur itu sulit. Anda harus mengajukan kepada diri Anda sendiri, pertanyaan yang tidak nyaman untuk dijawab. Kenyataannya, sesuai pengalaman saya, semakin tidak nyaman sebuah jawaban, semakin itu mendekati kenyataan yang sebenarnya. (Mark Manson, 2022:86)

Kalimat ini mengungkapkan bahwa refleksi diri yang jujur sering kali sulit dilakukan karena mengharuskan seseorang untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang tidak nyaman. Mark Manson menekankan bahwa dalam proses ini, semakin sulit atau tidak menyenangkan jawaban yang muncul, semakin besar kemungkinan bahwa jawaban tersebut mencerminkan kebenaran.


Intinya, manusia cenderung menghindari kenyataan yang menyakitkan atau tidak sesuai dengan harapan mereka. Namun, jika seseorang berani menghadapi ketidaknyamanan dalam menjawab pertanyaan tentang diri sendiri, mereka lebih mungkin menemukan kebenaran yang sesungguhnya tentang diri, kehidupan, atau situasi mereka.


Memang manusia adalah makhluk yang punya ego dan gengsi. Terkadang sebagai manusia kita merasa angkuh. Kita menolak keburukan yang ada pada diri kita. Kita sering merasa diri kita yang paling sempurna, paling benar. Ada manusia yang anti kritik. Mereka tidak jujur dengan kelemahan yang ada. Semakin dikritik, mereka semakin meronta-menolak kritikan tersebut. Mereka tersinggung, tidak bisa menerima kritikan tersebut. Oleh karena itu, kita mestinya bisa berpikir secara jernih ketika kita menerima kritikan. Tenang. Renungkan dan pikirkan apakah kritikan itu relate dengan keadaan diri kita. Jika iya relate, janganlah tersinggung. Kita sebagai manusia sejatinya punya kekurangan. Jangan anti kritik. Jadikan kritikan sebagai media untuk memperbaiki diri kita agar menjadi lebih baik lagi. 


***


Angga & Bayu di Warung Kopi


Suasana warung kopi sederhana, hujan gerimis di luar. Angga menyeruput kopinya pelan, sementara Bayu sibuk memainkan sendok di gelasnya.


Bayu:

(menghela napas panjang) Gue ngerasa akhir-akhir ini hidup gue berantakan, Ga. Kayak… ada yang salah, tapi gue nggak tahu apa.

Angga:

(menaruh gelasnya, menatap Bayu serius) Lo udah jujur sama diri lo sendiri belum?

Bayu:

Maksud lo?

Angga:

Ya, lo udah bener-bener nanya ke diri lo sendiri, apa yang sebenernya bikin lo ngerasa gitu? Bukan alasan yang nyaman, tapi yang beneran.

Bayu:

(terdiam sebentar, lalu tertawa kecil) Ya kalau bisa milih, gue maunya sih alasan yang nyaman-nyaman aja.

Angga:

Nah, itu dia! Kadang jawaban yang beneran itu justru yang paling nggak enak diakui.

Bayu:

(menghela napas lagi, lebih dalam kali ini) Kalau gitu… mungkin gue sebenernya males, Ga. Selama ini gue nyalahin keadaan, nyalahin orang lain, tapi sebenernya gue aja yang nggak gerak.

Angga:

(mengangguk, tersenyum kecil) Nah, itu dia. Mungkin itu jawaban yang paling bener. Lo ngerasa nggak nyaman kan, ngakuin itu?

Bayu:

Banget. Rasanya kayak ditampar sama diri sendiri.

Angga:

Tapi kan lo jadi tahu masalahnya. Itu langkah pertama. Lo mau terus pura-pura nggak tahu, atau mau ngapa-ngapain?

Bayu:

(memandang keluar jendela, hujan makin deras) Ya… mungkin udah waktunya gue berhenti nyari alasan dan mulai ngelakuin sesuatu.

Angga:

(menyenggol bahu Bayu) Itu baru Bayu yang gue kenal. Sekarang, kita minum kopi dulu, abis itu lo boleh nangis di kamar kalau butuh.

Bayu:

(tertawa, menggeleng) Sialan lo! Tapi makasih, Ga. Beneran.

Kutipan 2: 


Masalah mungkin tidak dapat dielakkan, namun makna dari setiap masalah bisa dikelola. Kita harus mengendalikan makna di balik permasalahan kita seturut persepsi yang telah kita pilih, seturut standar yang telah kita tentukan untuk mengukurnya. (Mark Manson, 2022:89). 

Kalimat ini berarti bahwa meskipun masalah dalam hidup tidak bisa dihindari, kita masih memiliki kendali atas bagaimana kita memaknainya. Artinya, bukan masalah itu sendiri yang menentukan dampaknya bagi kita, tetapi cara kita melihat dan menafsirkannya.


Mark Manson menekankan bahwa manusia bisa memilih bagaimana mereka menanggapi suatu peristiwa berdasarkan perspektif dan standar yang mereka tetapkan sendiri. Jika seseorang memandang suatu masalah sebagai tantangan untuk berkembang, maka masalah itu bisa menjadi peluang belajar. Sebaliknya, jika seseorang melihatnya sebagai beban yang tak tertahankan, maka masalah itu bisa terasa jauh lebih berat.


Intinya, kendali ada pada diri kita—bukan dalam menghindari masalah, tetapi dalam menentukan bagaimana kita memahami dan meresponsnya.


***


Angga & Bayu di Taman


Bayu duduk di bangku taman, menatap kosong ke arah danau kecil di depannya. Angga datang membawa dua botol teh dingin dan duduk di sebelahnya.


Angga:

(menyerahkan satu botol ke Bayu) Nih, biar lo nggak dehidrasi sambil galau.

Bayu:

(mengambil botol, tersenyum tipis) Thanks.

Angga:

Jadi, ada apa lagi? Lo keliatan berat banget mikirnya.

Bayu:

(menghela napas) Gue ngerasa hidup nggak adil, Ga. Semua yang gue rencanain nggak ada yang jalan sesuai harapan. Udah usaha, udah kerja keras, tapi tetep aja gagal.

Angga:

(meneguk tehnya, lalu menatap Bayu) Oke, gagal emang nyebelin. Tapi lo sadar nggak sih, lo yang bikin itu jadi lebih berat?

Bayu:

Maksud lo?

Angga:

Masalah itu kan nggak bisa dihindarin. Tapi cara lo lihat masalah itu bisa lo atur. Sekarang lo ngeliat kegagalan lo sebagai apa?

Bayu:

Ya… sesuatu yang bikin gue ngerasa gagal aja. Nggak berguna.

Angga:

Nah, itu. Lo milih buat ngelihat kegagalan lo dari standar yang bikin lo makin down. Coba kalau lo lihat dari sudut pandang lain? Misalnya, ini kesempatan buat belajar atau ganti strategi?

Bayu:

(mengernyit) Gue ngerti sih teorinya, tapi susah buat nerima.

Angga:

Ya wajar. Tapi kalau lo terus mikir "gue gagal, gue nggak berguna," lo bakal makin tenggelam. Masalahnya tetep ada, tapi lo bisa pilih buat ngeliatnya dari sisi yang lebih sehat.

Bayu:

(diam sejenak, menatap botol tehnya, lalu menghela napas lagi) Jadi maksud lo… gue harus ubah cara gue ngelihat masalah ini?

Angga:

Yap. Lo bisa tetap sedih, itu manusiawi. Tapi jangan biarin kesedihan itu ngejajah diri lo.

Bayu:

(tersenyum kecil) Lo makin bijak aja, Ga. Kapan lo berubah jadi guru motivasi?

Angga:

(tertawa) Gue nggak motivator, cuma temen yang capek ngeliat lo meratapi hidup terus.

Bayu:

(tertawa juga, lalu meneguk tehnya) Oke, Ga. Gue coba. Nggak janji langsung bisa, tapi gue coba.

Angga:

Nah, gitu dong. Sekarang kita makan bakso, biar masalah lo nggak bikin lo makin kurus.

Bayu:

(tertawa lebih lepas) Deal!

Kutipan 3:


Jika Anda ingin mengubah cara Anda memandang permasalahan Anda, Anda harus mengubah nilai yang Anda pegang dan/atau bagaimana Anda mengukur kegagalan/kesuksesan. (Mar Manson,2022:93). 

Kalimat di atas menyiratkan bahwa cara seseorang memandang masalah dalam hidup sangat bergantung pada nilai-nilai yang mereka anut dan standar yang mereka gunakan untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan.


Jika seseorang merasa gagal karena tidak mencapai suatu target, itu mungkin karena mereka mengukur kesuksesan berdasarkan pencapaian materi atau pengakuan orang lain. Namun, jika mereka mengubah standar keberhasilan—misalnya dengan melihat pertumbuhan pribadi, pengalaman yang didapat, atau usaha yang telah dilakukan—maka kegagalan itu bisa memiliki makna yang berbeda.


Intinya, mengubah perspektif terhadap masalah bukan sekadar soal berpikir positif, tetapi juga tentang menyesuaikan nilai dan standar yang digunakan untuk menilai diri sendiri dan kehidupan.


***


Angga & Bayu di Teras Rumah


Bayu duduk di teras rumahnya, memainkan tutup botol di tangannya. Angga duduk di sebelahnya, menyesap es teh yang hampir habis.


Angga:

(melirik Bayu) Muka lo kusut banget. Apa lagi nih?

Bayu:

(menghela napas) Gue ngerasa gagal, Ga. Udah usaha mati-matian, tapi tetep aja nggak dapet hasil yang gue harapkan.

Angga:

Hasil yang lo harapkan? Maksudnya?

Bayu:

Ya… gue pengen cepet sukses. Pengen punya karier yang bagus, penghasilan yang stabil. Tapi gue masih gini-gini aja. Nggak ada yang berubah.

Angga:

(menaruh gelasnya, menatap Bayu serius) Tapi sukses menurut lo itu kayak gimana?

Bayu:

Ya, punya banyak uang, kerja enak, hidup nyaman.

Angga:

Nah, mungkin itu masalahnya. Lo ngerasa gagal karena lo ngukur sukses dari hal-hal itu doang.

Bayu:

Terus harusnya gimana?

Angga:

Ya, coba lo ubah cara lo ngeliat sukses. Lo kan udah belajar banyak dari tiap usaha yang lo jalanin. Udah nambah skill, udah punya pengalaman. Itu juga bentuk sukses, bukan?

Bayu:

(terdiam, merenung sebentar) Tapi tetep aja, Ga. Kalau nggak ada hasil yang keliatan, ya percuma.

Angga:

Siapa bilang percuma? Lo cuma pake standar yang bikin lo sendiri ngerasa gagal. Kalau lo ubah cara lo ngukur sukses, mungkin lo bakal lebih bisa nerima prosesnya.

Bayu:

(mengangguk pelan) Jadi gue harus ngubah standar gue sendiri?

Angga:

Yoi. Bukannya berarti lo berhenti ngejar yang lo mau, tapi jangan sampai standar itu malah bikin lo sengsara terus.

Bayu:

(tersenyum kecil) Hmm… masuk akal juga. Jadi bukan masalahnya yang berubah, tapi cara gue ngelihatnya, ya?

Angga:

Exactly!

Bayu:

(tertawa kecil, menggeleng) Lo makin pinter aja ngomongnya.

Angga:

(tertawa) Bukan makin pinter, cuma sering dengerin keluhan lo aja.

Bayu:

(tertawa lebih lepas) Sialan! Tapi, makasih, Ga. Gue bakal coba.

Angga:

Bagus! Nah, sekarang lo traktir gue makan, sebagai tanda lo udah tercerahkan.

Bayu:

(mendelik) Tercerahkan apaan, laper aja lo!

Angga:

(nyengir) Ya kan lo mau sukses? Mulai dari bikin temen lo bahagia dulu.

Bayu:

(menghela napas, lalu tersenyum) Oke deh, bakso dua mangkok, tapi lo yang bayar minumnya!

Angga:

(tertawa keras) hahahaha...Deal!

Kutipan 4:


Berbicara mengenai kebahagiaan, kenikmatan bukanlah sebab;melainkan akibat. Jika Anda melakukan hal-hal yang lain dengan benar (nilai dan ukuran lain), kenikmatan akan secara alami muncul sebagai hasilnya. (Mark Manson, 2022:97)

Bahwa kebahagiaan atau kenikmatan bukan sesuatu yang bisa dikejar secara langsung, melainkan merupakan hasil dari menjalani hidup dengan nilai-nilai yang tepat dan ukuran kesuksesan yang sehat.


Banyak orang berpikir bahwa kebahagiaan bisa didapat dengan mencari kesenangan atau menghindari penderitaan. Namun, Mark Manson berpendapat bahwa kebahagiaan datang secara alami ketika seseorang fokus pada hal-hal yang lebih bermakna—seperti menjalani hidup dengan tujuan, memiliki hubungan yang baik, berkembang secara pribadi, dan menghadapi tantangan dengan sikap yang benar.


Dengan kata lain, jika seseorang hanya berusaha mencari kenikmatan semata, mereka justru bisa merasa kosong. Tapi jika mereka fokus melakukan hal-hal yang memiliki makna dan sesuai dengan nilai-nilai yang mereka yakini, kebahagiaan akan muncul dengan sendirinya.


***


Angga & Bayu di Kafe


Bayu duduk sambil menatap layar ponselnya. Angga duduk di hadapannya, menyesap kopi sambil melihat sekeliling kafe.


Angga:

(melihat Bayu yang tampak termenung) Lo kenapa, Bay? Kok kayaknya lagi merenung?

Bayu:

(menoleh, sedikit menghela napas) Gue cuma mikir, Ga. Kenapa ya hidup nggak pernah ngerasa cukup? Gue udah berusaha cari kebahagiaan, nyari hal yang bikin seneng, tapi tetep aja kadang ngerasa kosong.

Angga:

(mendengarkan dengan serius, lalu tersenyum ringan) Lo lagi nyari kebahagiaan, kan? Tapi coba deh, lo mikirnya kebalik. Kebahagiaan itu nggak datang kalau lo cuma ngejar-ngejar kenikmatan.

Bayu:

(pusing) Hah? Gue nggak ngerti.

Angga:

Gini, Bay. Kebahagiaan itu muncul dari hasil lo hidup dengan nilai dan ukuran yang bener. Kalau lo terus-terusan fokus buat cari hal yang bikin lo seneng sekarang, lo bakal terus ngerasa kosong.

Bayu:

(terdiam sejenak) Jadi… gue harus ngapain?

Angga:

Coba deh fokus sama hal-hal yang punya makna buat lo. Misalnya, lo ngebangun karier, lo ngerawat hubungan yang penting buat lo, lo berkembang sebagai pribadi. Kalau lo lakuin itu dengan benar, kebahagiaan bakal datang sendiri.

Bayu:

(mengangguk pelan) Jadi, gue harus ngubah cara gue ngeliat kebahagiaan, ya? Jangan cuma ngejar hal-hal yang bikin gue seneng sementara.

Angga:

Iya, persis! Kebahagiaan itu nggak datang dari apa yang lo kejar, tapi dari apa yang lo lakukan dengan cara yang bener. Kalau lo fokus di perjalanan, bukan cuma tujuan, kenikmatan bakal muncul tanpa lo harus mencarinya.

Bayu:

(tersenyum, seolah mulai paham) Jadi, kebahagiaan itu akibat dari pilihan kita yang bener, bukan tujuan utama yang harus dikejar.

Angga:

(mengangguk dengan semangat) Bener banget!

Bayu:

(tertawa ringan) Lo emang selalu punya cara buat ngelihat sesuatu dari sudut pandang yang beda.

Angga:

(nyengir) Ya iyalah, gue kan udah capek liat lo nyari kebahagiaan di tempat yang salah. Sekarang, lo coba jalanin dengan cara yang baru, ya?

Bayu:

(tersenyum) Oke deh, gue coba. Tapi kalo gue masih bingung, lo siap jadi guru motivasi gue lagi, kan?

Angga:

(tertawa) Siap! Tapi makan siang kali ini, gue yang bayarin, ya?

Bayu:

(tertawa) Deal!

Kutipan 5:


Pengingkaran terhadap emosi negatif menuntun kita untuk mengalami emosi negatif yang lebih dalam dan berkepanjangan, serta disfungsi emosional. Terus menerus bersikap positif justru merupakan salah satu bentuk pengelakan terhadap masalah, dan bukan cara yang tepat untuk menyelesaikannya-masalah-msalah yang boleh jadi justru menguatkan dan memotivasi Anda, seandainya Anda bisa memilih nilai dan ukuran yang benar. (Mark Manson, 2022:99)

Kalimat ini mengungkapkan bahwa mencoba untuk menghindari atau menekan emosi negatif, seperti rasa sedih, marah, atau takut, justru akan memperburuk perasaan tersebut dalam jangka panjang. Pengingkaran terhadap emosi negatif membuatnya semakin mendalam dan bisa menyebabkan gangguan emosional yang lebih besar.


Selain itu, terlalu sering bersikap positif (misalnya, selalu berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja meski sedang menghadapi masalah) adalah bentuk pelarian dari kenyataan. Hal ini bukan cara yang efektif untuk mengatasi masalah. Sebaliknya, menghadapi masalah secara langsung dan memahami emosi negatif yang muncul dapat memperkuat diri kita, memberikan motivasi, dan memberi kita kesempatan untuk berkembang, asalkan kita bisa memilih perspektif atau nilai yang tepat untuk menilai masalah tersebut.


Intinya, tidak ada yang salah dengan merasakan emosi negatif, dan alih-alih menghindarinya, kita harus belajar untuk menghadapinya dengan cara yang sehat.


***


Angga & Bayu di Taman Kota



Bayu duduk di bangku taman, tampak gelisah sambil melihat layar ponselnya. Angga duduk di sebelahnya, menikmati angin sore yang sejuk.


Angga:

(melihat Bayu yang tampak cemas) Lo kenapa, Bay? Lo kayaknya nggak fokus.

Bayu:

(menghela napas panjang) Gue lagi nggak enak hati, Ga. Kerjaan numpuk, masalah di kantor makin parah, dan gue ngerasa capek banget. Tapi, gue berusaha buat selalu mikir positif. Biar nggak ngerasa down.

Angga:

(menatap Bayu dengan serius) Lo beneran percaya dengan cara itu?

Bayu:

(mencoba meyakinkan diri) Ya, kan kalau terus mikir negatif, nanti malah tambah berat. Makanya gue paksa diri buat mikir positif aja.

Angga:

(terdiam sejenak, lalu berkata dengan lembut) Bay, kadang mikir positif itu malah jadi pelarian. Lo coba terus menekan perasaan lo, malah bisa makin stress, loh.

Bayu:

(terkejut) Pelarian? Maksud lo?

Angga:

Gini, lo coba bayangin, kalau lo terus-terusan menekan perasaan negatif lo, lo nggak ngasih ruang buat emosi itu keluar. Yang ada malah perasaan itu ngebebanin lo lebih dalam. Lo nggak bakal bisa move on dari masalah itu kalau nggak ngadepin emosi lo dengan jujur.

Bayu:

(mikir sejenak) Tapi gue takut, Ga. Kalau gue nggak mikir positif, gue bakal tambah down, makin nggak bisa bangkit.

Angga:

(tersenyum) Justru, lo bakal lebih kuat kalau lo bisa terima dan hadapi emosi negatif itu. Nggak usah takut merasain kecewa, marah, atau bingung. Itu normal. Kalau lo belajar dari situ, malah bisa nambah kekuatan dan motivasi buat maju.

Bayu:

(melihat Angga, mulai mencerna) Jadi, lo maksudnya, nggak apa-apa ngerasain emosi negatif, ya? Selama kita nggak kabur dari itu?

Angga:

(mengangguk) Iya, bener banget. Masalah itu kadang datang bukan buat ngalahin kita, tapi buat ngasih pelajaran. Lo bisa lebih kuat kalau lo bisa pilih cara lo ngadepin masalah itu. Lo bisa nentuin nilai dan ukuran yang tepat buat ngeliat masalah lo, bukan cuma fokus ke hasil akhir atau kesuksesan aja.

Bayu:

(senyum, merasa lebih tenang) Gue mulai paham, Ga. Gue sering banget coba kabur dari perasaan nggak enak, takut malah makin ngerusak keadaan. Ternyata, nggak gitu juga, ya?

Angga:

(tertawa ringan) Betul! Justru, lo bakal lebih berkembang kalau bisa terima kenyataan dan belajar dari situ. Lo nggak harus sempurna atau selalu positif, yang penting lo bisa ngehadepin masalah dengan cara yang sehat.

Bayu:

(tersenyum, merasa lega) Makasih, Ga. Gue bakal coba lebih terima perasaan gue dan nggak kabur dari masalah.

Angga:

(menepuk bahu Bayu) Sama-sama! Nanti kalau lo butuh bantuan, gue siap dengerin, kok.

Bayu:

(tertawa) Oke, siap. Tapi sekarang, lo traktir gue kopi deh buat ngerayain 'terapi' pertama ini!

Angga:

(nyengir) Deal! Tapi gue bayar kopi, lo yang bayar roti.

Bayu:

(tertawa) Oke, setuju!

Kutipan 6:


Trik untuk emosi negatif adalah 1)mengekspersikan dalam suatu cara yang dapat diterima dan sehat secara sosial dan 2)mengungkapkan dalam suatu cara yang selaras dengan nilai-nilai Anda. (Mark Manson, 2022:99).

Kalimat Mark Manson ini menjelaskan dua cara untuk mengelola emosi negatif secara sehat dan efektif:


Mengekspresikan emosi dengan cara yang diterima secara sosial dan sehat: Ini berarti menyalurkan perasaan negatif, seperti marah atau kecewa, dengan cara yang tidak merugikan diri sendiri atau orang lain. Misalnya, alih-alih meledak atau memaki, bisa dengan berbicara secara tenang atau melakukan aktivitas fisik seperti olahraga untuk melepaskan ketegangan.
Mengungkapkan emosi sesuai dengan nilai-nilai Anda: Ini berarti mengekspresikan perasaan negatif dengan cara yang selaras dengan prinsip dan keyakinan pribadi Anda. Misalnya, jika Anda menghargai kejujuran, Anda bisa mengungkapkan perasaan negatif Anda dengan terbuka kepada orang yang bersangkutan, namun tetap dengan cara yang penuh hormat.
Intinya, cara Anda mengungkapkan emosi negatif haruslah sehat, tidak merusak hubungan sosial, dan tetap sesuai dengan prinsip moral atau nilai yang Anda pegang.
***


Angga & Bayu di Kafe
Bayu terlihat gelisah, menatap layar ponselnya dengan ekspresi cemas. Angga duduk di seberangnya, menikmati kopi sambil memerhatikan Bayu yang tampak stres.


Angga:
(melihat Bayu) Lo kenapa, Bay? Nggak biasanya lo kayak gini, kelihatan tegang gitu.


Bayu:
(menghela napas) Gue lagi kesel banget, Ga. Ada masalah di kerjaan yang nggak kelar-kelar. Bos gue ngasih deadline yang nggak masuk akal, dan tim gue nggak kompak. Rasanya pengen teriak aja.


Angga:
(terdiam sejenak, sambil menatap Bayu) Wah, itu emang bikin stres sih. Lo udah ngomongin ke bos lo belum?


Bayu:
(geleng-geleng kepala) Gimana ngomonginnya, Ga? Gue takut kalau ngomong langsung, malah dianggap nggak profesional atau dianggap nyusahin.


Angga:
(tersenyum sedikit) Tapi lo juga harus tahu, lo nggak bisa terus-terusan menahan perasaan kayak gitu, Bay. Coba deh, ekspresiin dengan cara yang sehat. Misalnya, ngomong langsung sama bos lo, tapi dengan cara yang sopan dan jelas. Jangan sampai lo simpen-simpen terus, nanti malah meledak.


Bayu:
(terkejut) Maksud lo gimana tuh, ngomongin perasaan gue ke bos? Kan, itu bisa bikin suasana jadi canggung.


Angga:
(menepuk meja pelan) Gini, Bay, mengekspresikan perasaan yang nggak enak itu bukan berarti harus marah-marah atau ngeluarin kata-kata kasar. Lo bisa ngomong dengan tenang, dan jelasin kenapa lo merasa kewalahan dengan deadline yang ada. Tapi yang penting, cara lo ngomong harus sesuai dengan nilai lo juga, misalnya kejujuran dan rasa hormat. Kalau lo berusaha buat jujur dan tetap sopan, meskipun lo lagi marah, itu udah cara yang sehat buat ekspresiin perasaan lo.


Bayu:
(mikir sejenak) Hmm, gue paham sih. Jadi, gue nggak cuma fokus ke perasaan marah gue aja, tapi juga cara nyampeinnya, ya?


Angga:
(mengangguk) Betul. Kalau lo ekspresiin perasaan lo dengan cara yang tepat, orang lain juga lebih mudah ngerti. Ini bukan cuma soal lo ngerasain perasaan negatif, tapi gimana lo bisa ngungkapinnya dengan cara yang nggak merusak hubungan, dan malah bikin masalah lebih mudah diselesaikan.


Bayu:
(tersenyum, mulai lega) Jadi, gue nggak perlu takut ngomong jujur sama bos, ya? Asal gue bisa ngungkapinnya dengan cara yang baik dan sesuai dengan nilai gue.


Angga:
(tersenyum kembali) Iya, tepat! Lo nggak perlu khawatir selama lo tetap jaga komunikasi yang baik. Terkadang, ngomong itu bisa jadi solusi, malah bikin lo lebih lega.


Bayu:
(tertawa kecil) Oke deh, gue bakal coba. Tapi kalau gue ngomongin masalah ini sama bos, lo traktir gue makan siang, ya?


Angga:
(tertawa) Deal! Lo selesaikan masalah, gue yang bayar makan.


Bayu:
(bercanda) Oke, gue akan berusaha, tapi kalau gagal, lo siap-siap bayar dua kali!


Angga:
(tertawa) Jangan gitu, dong! Tapi serius, semangat, Bay. Lo pasti bisa ngatasi ini.


Bayu:
(tersenyum lega) Makasih, Ga. Gue ngerasa lebih tenang sekarang.


Kutipan 7:

Singkat kata, inilah yang dimaksud dengan "self-improvement" yang sesungguhnya: memprioritaskan nilai-nilai yang lebih baik, memilih hal-hal yang lebih baik untuk dipedulikan. Karena ketika Anda peduli pada hal-hal yang lebih baik, Anda akan mendapat masalah yang lebih baik. Dan ketika Anda mendapat masalah yang lebih baik, Anda menjalani kehidupan yang lebi baik pula. (Mark Manson, 2022:104). 


Kalimat ini menjelaskan bahwa perbaikan diri sejati (self-improvement) bukan hanya tentang mencapai lebih banyak hal atau menjadi lebih sukses secara materi, tetapi lebih kepada bagaimana seseorang memilih nilai-nilai yang lebih baik dalam hidupnya.


Ketika seseorang mulai peduli pada hal-hal yang lebih bermakna dan sejalan dengan nilai-nilai yang lebih baik, mereka secara otomatis akan menghadapi masalah yang lebih bermakna pula. Masalah selalu ada dalam hidup, tetapi jika seseorang memiliki prioritas yang lebih baik, masalah yang dihadapi juga akan lebih berkualitas dan dapat membawa pertumbuhan pribadi.


Contohnya, seseorang yang sebelumnya hanya peduli pada pendapat orang lain mungkin akan selalu stres dengan komentar negatif. Namun, jika ia mulai lebih peduli pada pertumbuhan pribadi dan kontribusinya terhadap masyarakat, maka masalah yang dihadapinya bisa berubah menjadi tantangan yang lebih bermakna, seperti bagaimana menjadi lebih baik dalam pekerjaannya atau bagaimana memberi dampak positif bagi orang lain.


Pada akhirnya, dengan menghadapi masalah yang lebih baik, seseorang juga akan menjalani kehidupan yang lebih baik dan lebih memuaskan.


***


Angga dan Bayu di sebuah kafe, ngobrol sambil ngopi


Bayu: Bro, gue ngerasa hidup gue tuh gini-gini aja. Kayak... tiap hari kerja, capek, dapet gaji, habis buat bayar ini-itu, terus ulang lagi. Kadang gue mikir, ini hidup apa siklus setan?


Angga: Hahaha... ya, hidup emang nggak selalu seru sih. Tapi mungkin yang bikin lo ngerasa stuck itu karena lo peduli sama hal yang nggak bikin lo berkembang.


Bayu: Maksud lo?


Angga: Gini deh, lo peduli banget sama gaji lo yang segitu-segitu aja, kan? Lo stres karena merasa kerja keras lo nggak dihargai. Tapi lo nggak pernah mikir buat ngerjain sesuatu yang lebih meaningful buat lo sendiri.


Bayu: Maksudnya, gue harus cari kerjaan lain?


Angga: Nggak selalu. Maksud gue, coba ubah cara lo liat masalah. Daripada cuma peduli sama angka di slip gaji, kenapa nggak mulai peduli sama gimana lo bisa ningkatin skill lo, atau bikin sesuatu yang lo suka dan bisa jadi peluang?


Bayu: Tapi kan masalah tetep ada, Ga. Gue tetep harus bayar sewa, makan, dan nabung.


Angga: Iya, masalah nggak bakal hilang. Tapi kalau lo fokus sama hal yang lebih penting—kayak gimana lo bisa berkembang, gimana lo bisa ngerjain sesuatu yang lo suka dan tetep bisa hidup—masalah lo juga jadi lebih ‘bermutu’. Lo bakal pusing mikirin gimana nge-develop diri lo, bukan cuma gimana caranya weekend bisa foya-foya sebentar buat ngilangin stres.


Bayu: Hmm… jadi intinya, kalau gue mulai peduli sama hal yang lebih gede dan lebih berarti buat hidup gue, masalah gue juga bakal berubah, gitu?


Angga: Persis! Lo bakal dapet masalah yang lebih berkualitas. Dan itu artinya, hidup lo juga bakal lebih baik.


Bayu: Wah, kalau dipikir-pikir bener juga ya. Mungkin gue harus mulai mikir lebih serius soal masa depan gue, bukan cuma ngeluh doang.


Angga: Nah, itu baru self-improvement yang bener. Bukan sekadar nonton video motivasi doang terus balik lagi ke rutinitas yang sama.


Bayu: Haha, kena banget tuh. Oke, oke... mulai sekarang gue bakal lebih peduli sama hal yang lebih penting.


Angga: Mantap, bro! Nah, sekarang traktir gue kopi dulu, biar hidup lo makin berkualitas.


Bayu: Lah?! 


Kutipan 8:


Kita tidak bisa selalu mengambil kendali terhadap apa yang terjadi pada kita. Namun kita selalu bisa mengendalikan cara kita menafsirkan segala hal yang menimpa kita, dan cara kita merespons. (Mark Manson, 2022:112). 

Kalimat ini menjelaskan bahwa dalam hidup, banyak hal yang terjadi di luar kendali kita. Kita tidak bisa memilih bagaimana dunia memperlakukan kita, apakah kita akan menghadapi kegagalan, kesulitan, atau ketidakadilan. Namun, satu hal yang selalu bisa kita kendalikan adalah bagaimana kita memahami (menafsirkan) pengalaman tersebut dan bagaimana kita meresponsnya.


Misalnya, ketika seseorang gagal dalam suatu ujian atau pekerjaan, ia bisa melihatnya sebagai akhir dari segalanya, menyalahkan keadaan, dan merasa putus asa. Namun, ia juga bisa menafsirkannya sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang. Sikapnya terhadap kegagalan itu akan menentukan bagaimana ia bertindak selanjutnya—apakah menyerah atau mencoba lagi dengan strategi yang lebih baik.


Prinsip ini mirip dengan filosofi Stoikisme, yang menekankan bahwa kita tidak bisa mengendalikan dunia, tapi kita bisa mengendalikan pikiran dan reaksi kita terhadapnya. Dengan memahami bahwa kita punya kuasa atas bagaimana kita menafsirkan dan merespons hidup, kita bisa lebih tenang, lebih bijak, dan lebih kuat menghadapi tantangan.


***


Angga dan Bayu sedang duduk di teras rumah sambil minum teh. Bayu terlihat kesal.


Bayu: Gila, Ga! Gue tuh udah usaha mati-matian buat dapet promosi di kantor, tapi malah si Rian yang kepilih! Padahal kerjaannya sering gue yang bantuin. Kesel banget gue!


Angga: Wah, parah sih itu. Tapi ya, lo mau gimana? Mau marah-marah terus? Mau resign?


Bayu: Gue nggak tau, bro. Rasanya kayak nggak dihargain. Udah kerja keras, tapi tetep aja kalah sama orang lain.


Angga: Gue paham sih lo kecewa. Tapi lo sadar nggak, ada hal yang nggak bisa lo kontrol? Kayak keputusan bos lo, atau kebijakan kantor?


Bayu: Iya sih... terus? Gue harus ngelus dada aja gitu?


Angga: Nggak gitu juga. Yang bisa lo kontrol itu cara lo nanggepin ini. Lo bisa terus kesel dan ngedumel, atau lo bisa mikir, ‘Oke, gue gagal kali ini. Kenapa? Apa yang bisa gue perbaiki biar kesempatan berikutnya gue lebih unggul?’


Bayu: Hmm... tapi tetep aja sakit, bro.


Angga: Ya wajar. Tapi kalau lo cuma fokus ke rasa sakitnya doang, lo nggak bakal maju. Lo bisa pilih buat lihat ini sebagai bukti kalau dunia nggak adil, atau lo bisa lihat ini sebagai tantangan buat ningkatin diri lo lagi.


Bayu: Jadi intinya, gue nggak bisa ngontrol hasilnya, tapi gue bisa ngontrol cara gue nanggepin ini?


Angga: Nah, bener! Lo bisa pakai pengalaman ini buat belajar, atau lo bisa stuck di sini sambil nyalahin keadaan. Pilihan ada di tangan lo.


Bayu: Hmm... yaudah deh, daripada gue terus-terusan kesel, mending gue evaluasi lagi kerjaan gue. Mungkin ada yang kurang gue asah.


Angga: Itu dia! Gagal itu biasa, bro. Yang penting gimana lo nanggepin. Nah, sekarang senyum dulu biar nggak kelihatan kayak orang abis diputusin pacar.


Bayu: Haha, sialan lo! Oke, oke... gue coba move on. Tapi lo traktir gue bakso dulu!


Angga: Lah, kok gue yang kena?!


Kutipan 9:


Suka atau tidak, kita selalu berperan aktif  dalam apa yang sedang terjadi terhadap dan dalam diri kita. Kita selalu menafsirkan makna dari setiap peristiwa dan kejadian. Kita selalu memilih nilai-nilai yang kita hidupi dan ukuran yang kita gunakan untuk menilai setiap hal yang terjadi pada kita. Sering satu peristiwa yang sama bisa menjadi baik atau buruk, bergantung pada ukuran yang kita pilih. (Mark Manson, 2022:112). 

Kalimat ini menjelaskan bahwa setiap individu memiliki kendali dalam menafsirkan dan memberikan makna terhadap pengalaman hidupnya. Terlepas dari apakah kita menyadarinya atau tidak, kita selalu berpartisipasi dalam membentuk respons emosional dan mental terhadap peristiwa yang terjadi.


Misalnya, dua orang bisa mengalami kejadian yang sama tetapi memiliki reaksi yang berbeda karena perbedaan nilai dan standar yang mereka gunakan. Contohnya, seseorang yang gagal dalam ujian bisa melihatnya sebagai bukti bahwa dirinya tidak cukup pintar, sementara orang lain melihatnya sebagai peluang untuk belajar lebih giat. Hal ini menunjukkan bahwa bukan peristiwanya yang menentukan baik atau buruknya pengalaman, tetapi bagaimana kita memilih untuk memaknainya.


Dengan kata lain, kebahagiaan atau penderitaan bukan hanya bergantung pada kejadian yang kita alami, tetapi lebih pada cara kita menafsirkannya dan standar yang kita gunakan untuk menilainya.


***


Angga: Bro, gue bener-bener kesel hari ini. Gue ditolak kerja lagi. Udah lamar ke lima tempat, hasilnya sama aja. Gue ngerasa kayak gagal total.


Bayu: Yaelah, emang kalau ditolak sekali dua kali langsung gagal? Kenapa lo liatnya dari sudut pandang gitu?


Angga: Ya terus gimana? Orang jelas-jelas gue ditolak. Berarti mereka nggak nganggep gue cukup bagus, kan?


Bayu: Belum tentu, bro. Bisa aja karena faktornya banyak. Mungkin lo belum cocok di posisi itu, mungkin ada yang lebih pas, atau mungkin justru lo harus belajar sesuatu dari pengalaman ini. Lo milih lihat ini sebagai kegagalan atau kesempatan buat improve?


Angga: Tapi tetep aja, rasanya nyesek, bro. Kayak gue nggak ada harapan gitu.


Bayu: Nah, itu masalahnya. Lo ngerasa nggak ada harapan karena lo ngeliat penolakan sebagai tanda lo nggak cukup bagus. Tapi kalau lo liatnya sebagai bagian dari proses, justru ini peluang buat lo belajar.


Angga: Maksud lo, gue harusnya lebih fokus ke pelajaran yang bisa gue ambil daripada sekadar ngeluh?


Bayu: Persis! Lo nggak bisa kontrol hasil akhirnya, tapi lo bisa kontrol cara lo nanggapin. Lo bisa pilih buat nyalahin diri sendiri, atau lo bisa pilih buat ngejalanin ini sebagai tantangan buat jadi lebih baik.


Angga: Hmm… ya juga sih. Mungkin gue terlalu fokus ke hasil akhirnya, bukannya ke prosesnya.


Bayu: Nah, itu baru mindset yang bener. Sekarang lo tinggal pilih, mau stuck di situ, atau mau bangkit dan coba lagi dengan lebih siap?


Angga: Oke, gue ngerti. Gue bakal coba ubah cara gue lihat ini. Thanks, bro.


Kutipan 10:


Kesalahan adalah bentuk lampau (past tense). Tanggung jawab adalah bentuk kini (present tense). Kesalahan merupakan hasil dari pilihan-pilihan yang telah diambil. Tanggung jawab merupakan hasil dari pilihan yang sedang Anda ambil saat ini, setiap detik, setiap hari. (Mark Manson, 2022:116). 

Kalimat ini menekankan perbedaan antara kesalahan di masa lalu dan tanggung jawab di masa kini.

  • Kesalahan adalah sesuatu yang sudah terjadi. Itu adalah konsekuensi dari keputusan atau tindakan di masa lalu. Kita tidak bisa mengubahnya lagi.
  • Tanggung jawab, di sisi lain, adalah sesuatu yang kita pilih saat ini. Meskipun kesalahan sudah terjadi, kita masih punya kendali atas bagaimana kita menyikapinya sekarang.
Intinya, meskipun kita tidak bisa mengubah masa lalu, kita tetap bertanggung jawab atas cara kita menanggapi dan memperbaiki situasi saat ini. Jadi, daripada terus menyalahkan diri sendiri atau orang lain, lebih baik fokus pada bagaimana kita bisa mengambil tindakan yang lebih baik sekarang.

***


Angga: Bro, gue baru aja ngecek lagi hasil ujian kemarin, dan gue bener-bener gagal. Kayaknya gue nggak pernah cukup bagus buat lulus.

Bayu: Aduh, lo jangan gitu deh. Gagal itu cuma bagian dari proses, bukan akhir dari segalanya.

Angga: Iya sih, tapi rasanya tuh kayak nggak ada harapan, semua usaha gue nggak membuahkan hasil. Gue mulai mikir, apa gue bener-bener nggak bisa?

Bayu: Gini, bro. Kesalahan itu udah terjadi, udah lewat. Itu hasil dari pilihan lo di masa lalu. Tapi lo jangan terjebak sama kesalahan itu terus. Yang penting sekarang, lo punya kendali atas apa yang lo pilih untuk lakukan sekarang. Lo bisa aja terus nyalahin diri atau nyalahin ujian itu, tapi tanggung jawab lo sekarang adalah apa yang lo pilih buat lakukan selanjutnya.

Angga: Hmm... jadi gue nggak bisa terus-terusan nyalahin masa lalu gitu ya?

Bayu: Betul. Kesalahan lo udah lewat, tapi tanggung jawab lo masih di tangan lo. Pilihan lo sekarang itu yang bakal nentuin langkah selanjutnya. Lo bisa belajar dari kesalahan itu atau terus ngerasa down. Itu pilihan lo.

Angga: Jadi gue harus fokus ke apa yang bisa gue lakuin sekarang, ya? Bukan terjebak sama penyesalan atas kegagalan itu?

Bayu: Iya, persis. Lo nggak bisa merubah yang udah terjadi, tapi lo bisa merubah apa yang lo lakukan hari ini. Itu yang nentuin masa depan lo.

Angga: Oke, gue paham. Gue bakal coba lihat ini dari sisi yang lebih positif dan mulai ambil tanggung jawab buat perbaiki diri. Thanks, Bayu!

Bayu: Keren, bro! Semangat terus!

Kutipan 11:

Tidak ada seorang pun yang bertanggung jawab atas keadaan Anda kecuali diri Anda sendiri. Banyak orang yang mungkin disalahkan atas ketidakbahagiaan Anda, selain Anda. Ini karena Anda harus memilih bagaimana Anda memandang sekitar Anda, bagaimana Anda bereaksi terhadapnya, bagaimana Anda menilai sesuatu. Anda selalu harus memilih ukuran yang Anda gunakan untuk menilai pengalaman Anda. (Mark Manson, 2022:117)

Kalimat ini mengandung pesan bahwa kebahagiaan dan keadaan kita adalah hasil dari pilihan dan cara kita menanggapi situasi yang ada. Meskipun orang lain atau kondisi eksternal mungkin mempengaruhi perasaan kita, pada akhirnya kita lah yang memutuskan bagaimana kita memahami dan merespons kejadian tersebut.

Dengan kata lain, kita bertanggung jawab atas bagaimana kita melihat dunia dan bagaimana kita memutuskan untuk merasakan atau menilai setiap pengalaman. Orang lain atau situasi tidak bisa sepenuhnya disalahkan atas perasaan kita. Sebagai contoh, kita bisa memilih untuk melihat masalah sebagai tantangan atau sebagai beban.

Jadi, intinya adalah kita selalu punya kendali atas bagaimana kita merespons hidup. Cara kita menilai dan mengukur pengalaman kita akan menentukan apakah kita merasa bahagia atau tidak.

***


Angga: Gue ngerasa hidup gue belakangan ini nggak enak, semuanya kayak nggak berjalan dengan baik. Kadang gue mikir, semua orang di sekitar gue yang bikin gue merasa kayak gini.

Bayu: Hmm, serius? Tapi gue rasa nggak gitu deh. Maksud gue, emang orang lain bisa nyebelin atau bikin stres, tapi akhirnya kan lo yang memutuskan gimana lo ngerespon itu semua.

Angga: Ya, gue tau sih, tapi kadang gue merasa kayak mereka yang ngatur hidup gue. Misalnya aja, kerjaan gue, keluarga, temen-temen, kayak semuanya ngerempet aja ke arah yang bikin gue stres.

Bayu: Iya, gue ngerti. Tapi, lo pernah mikir nggak, mungkin masalahnya bukan soal mereka, tapi gimana cara lo memandang semua itu? Kadang kita cuma fokus sama hal-hal negatif, padahal kita bisa aja melihatnya dengan cara yang berbeda. Lo yang memutuskan apakah itu masalah besar atau cuma tantangan kecil.

Angga: Hmm, maksud lo... gue yang harus ubah cara pandang gue gitu?

Bayu: Iya, bro. Lo yang punya kendali penuh atas gimana lo merespon masalah-masalah itu. Misalnya aja, lo bisa pilih buat merasa kesal dan terjebak dalam masalah, atau lo bisa lihat itu sebagai kesempatan buat berkembang. Semua tergantung dari pilihan lo.

Angga: Jadi, sebenernya bukan orang lain yang bikin gue nggak bahagia, tapi cara gue melihat semua itu, ya?

Bayu: Betul. Lo selalu punya pilihan buat menentukan ukuran yang lo pake buat menilai kehidupan. Kalau lo terus-terusan nyalahin orang atau keadaan, lo nggak bakal kemana-mana. Tapi kalau lo ubah cara lo melihat dan merespon, lo bisa jadi lebih tenang dan lebih bahagia.

Angga: Wah, ternyata gue yang harus ubah cara pandang ya. Makasih, Bayu. Gue bakal coba lebih kontrol reaksi gue.

Bayu: Keren, bro! Semangat terus!

Kutipan 12:

Rasa sakit, apa pun bentuknya, tidak bisa kita hindari, namun kita harus memutuskan apa maknanya bagi kita. (Mark Manson, 2022:123). 

Kalimat ini menjelaskan bahwa rasa sakit—baik itu fisik, emosional, atau mental—adalah bagian dari kehidupan yang tidak bisa kita hindari. Semua orang pasti pernah merasakannya, baik karena kehilangan, kegagalan, atau rasa kecewa. Namun, meskipun kita tidak bisa menghindari rasa sakit itu, kita memiliki kendali atas bagaimana kita memberi makna pada rasa sakit tersebut.

Dengan kata lain, meskipun kita tidak dapat memilih untuk tidak merasakan sakit, kita dapat memilih cara kita menafsirkan dan meresponsnya. Rasa sakit bisa menjadi pengalaman yang menyakitkan dan melemahkan, atau bisa juga menjadi peluang untuk belajar, tumbuh, dan menjadi lebih kuat. Jadi, inti dari kalimat ini adalah bahwa makna yang kita berikan pada rasa sakit sangat mempengaruhi dampaknya terhadap kita.

***

Angga: Bro, gue lagi ngerasa down banget akhir-akhir ini. Semua yang gue coba, kayaknya gagal terus. Rasanya sakit banget, ya.

Bayu: Gue ngerti sih, bro. Kadang hidup emang nggak sesuai ekspektasi. Tapi gue rasa kita nggak bisa nyalahin itu semua, kan? Rasa sakit itu pasti datang, tapi yang penting, lo harus tentuin makna dari semua yang lo rasain.

Angga: Maksud lo, gue harus ngasih makna buat rasa sakit gue ini? Gimana caranya?

Bayu: Iya, lo bisa pilih kok, mau ngeliat rasa sakit itu sebagai beban yang bikin lo terpuruk, atau sebagai pelajaran buat jadi lebih kuat. Misalnya, kalau lo gagal, lo bisa lihat itu sebagai tanda lo harus coba cara lain, bukan berarti lo nggak mampu.

Angga: Hm, jadi lo bilang, gue harus lihat rasa sakit ini sebagai sesuatu yang bisa bikin gue berkembang, bukan justru ngerasa terjebak?

Bayu: Betul banget! Rasa sakit itu nggak bisa kita hindari, tapi kita bisa milih untuk ngasih makna yang positif dari situasi itu. Dengan begitu, lo nggak bakal terperangkap sama perasaan negatif terus-menerus.

Angga: Wah, gue baru sadar juga sih. Jadi selama ini gue terlalu fokus sama rasa sakitnya, tanpa mikirin apa yang bisa gue pelajari dari situasi ini.

Bayu: Itu dia! Rasa sakit itu emang ngg
ak enak, tapi kalau lo bisa lihat sisi positifnya, lo bakal jauh lebih kuat. Gue yakin lo bisa kok.

Angga: Makasih, Bayu. Gue bakal coba ubah cara pandang gue soal ini.

Bayu: Keren, bro! Lo pasti bisa!

0 komentar:

Posting Komentar