Pendahuluan
Pernah nggak, kamu ngerasa
belajar itu kayak beban? Duduk di depan meja, buka buku, tapi pikiran malah ke
mana-mana. Rasanya seperti perang batin tiap kali disuruh belajar. Bisa jadi,
kamu nggak sendirian, karena banyak banget yang ngalamin hal serupa. Padahal,
kalau dipikir-pikir, belajar itu kunci buat banyak hal keren dalam hidup. Mau
lulus ujian, masuk universitas impian, dapetin pekerjaan yang keren, atau
sekadar ngerti obrolan teman yang bahas sesuatu yang kita nggak paham—semua
berawal dari belajar.
Tapi, apa sih yang salah?
Kenapa belajar terasa kayak “tugas berat” yang seringkali nggak menyenangkan?
Nah, di buku ini, kita bakal ngomongin soal gimana caranya belajar itu nggak
jadi momok. Bukan cuma belajar dari buku, tapi juga belajar buat ngerti cara
otak kita bekerja, apa yang memotivasi kita, dan gimana cara buat bertahan di
tengah gangguan digital yang nggak ada habisnya.
Di sini, kamu nggak bakal
dapet teori berlapis-lapis kayak buku sekolah. Kita bakal ngobrol dari hati ke
hati soal cara belajar yang pas buat kamu. Karena, percaya deh, belajar itu
bisa jadi pengalaman yang seru kalau kamu tahu caranya. Jadi, kalau kamu udah
siap buat ngubah cara pandang tentang belajar, yuk kita mulai perjalanan ini
sama-sama!
Bab
1: Kenapa Harus Mempraktekkan Belajar Cara Belajar
Oke, sebelum kita ngomong
lebih jauh soal "cara belajar," mungkin kamu bertanya-tanya: kenapa
sih belajar cara belajar itu penting? Nggak bisa langsung belajar aja? Nah,
pertanyaan ini wajar banget. Sebenarnya, belajar cara belajar bisa dibilang
kayak fondasi buat semua yang mau kita kuasai.
1. Efisiensi Waktu
Kita semua punya waktu yang
terbatas setiap harinya. Kalau belajar bisa lebih efisien—alias lebih sedikit
waktu, tapi hasilnya maksimal—kenapa nggak, kan? Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Dunlosky dkk. (2013) menunjukkan bahwa teknik belajar yang tepat,
seperti penggunaan "spaced repetition" atau pengulangan berkala, bisa
meningkatkan daya ingat dan pemahaman (Dunlosky et al., Psychological Science
in the Public Interest). Ini artinya, dengan metode yang pas, kita nggak perlu
belajar berjam-jam hanya untuk mengingat sedikit materi. Waktu yang kita hemat
bisa kita pakai buat hal-hal lain yang juga penting dalam hidup kita.
2. Mengurangi Stres dan
Kecemasan
Belajar tanpa teknik yang
benar bisa bikin stres. Pernah ngerasa kepala pusing atau lelah banget karena
belajar terus-menerus, tapi hasilnya minim? Itu mungkin tanda kalau kita nggak
menggunakan metode yang efektif. Menurut sebuah studi di Educational Psychology
Review, memahami dan menerapkan teknik belajar yang baik bisa mengurangi
kecemasan terkait akademik karena kita tahu cara untuk mempersiapkan diri
secara lebih efektif (Artino, 2009).
Ketika kita punya strategi
yang jelas, belajar jadi nggak menakutkan lagi. Malah, kita bisa lebih tenang
dan percaya diri karena punya “senjata” untuk menghadapi materi yang sulit.
Cara belajar yang efektif bikin kita nggak perlu lagi panik sebelum ujian atau
tugas besar datang.
3. Memaksimalkan Potensi Diri
Belajar itu nggak cuma soal
nilai di atas kertas, tapi juga soal gimana kita ngembangin diri. Kita semua
punya potensi besar yang kadang nggak muncul hanya karena cara belajarnya
kurang tepat. Menurut teori Self-Determination dari Deci dan Ryan (2000), kita
semua punya kebutuhan akan "autonomy," "competence," dan
"relatedness" dalam proses belajar kita. Artinya, semakin kita merasa
mampu dan terhubung dengan apa yang kita pelajari, semakin besar pula motivasi
kita untuk sukses (Deci & Ryan, 2000, Psychological Inquiry).
Jadi, ketika kita ngerti cara
belajar yang pas, potensi kita bisa benar-benar muncul. Kita nggak cuma belajar
buat ujian atau tugas, tapi buat jangka panjang, buat masa depan yang lebih
cerah.
4. Adaptif Terhadap Perubahan
Di dunia yang serba cepat
ini, metode belajar yang fleksibel dan efektif adalah kunci buat tetap relevan.
Kita bakal sering banget ketemu hal-hal baru yang harus kita pelajari, entah di
tempat kerja atau dalam kehidupan sehari-hari. Dengan punya “cara belajar” yang
udah kita kuasai, kita lebih siap menghadapi apapun yang datang. Seperti yang
dikemukakan oleh Gagné dkk., mengembangkan kemampuan belajar adaptif bikin kita
lebih mampu untuk terus berkembang sesuai perubahan zaman (Gagné et al., 2005,
The Conditions of Learning).
Bab
2: Tentukan Tujuan Apa yang Diinginkan
Setelah memahami kenapa
belajar cara belajar itu penting, langkah berikutnya adalah menentukan tujuan.
Tanpa tujuan yang jelas, belajar bisa terasa kosong dan tanpa arah. Banyak yang
memulai belajar hanya demi nilai atau tekanan eksternal. Padahal, dengan tujuan
yang bermakna, proses belajar akan lebih terarah, lebih fokus, dan jauh lebih
memuaskan.
1. Menetapkan Tujuan untuk
Meningkatkan Motivasi
Penelitian menunjukkan bahwa
ketika kita punya tujuan yang spesifik dan menantang, motivasi kita untuk
belajar cenderung meningkat. Locke dan Latham (2002), melalui teori Goal
Setting, menyatakan bahwa menetapkan tujuan yang jelas dapat membantu meningkatkan
kinerja dan komitmen terhadap aktivitas yang dilakukan. Mereka menemukan bahwa
tujuan yang konkret dan terukur (contoh: “Saya ingin memahami 10 konsep utama
dalam waktu 2 minggu”) cenderung menghasilkan motivasi yang lebih kuat
dibandingkan dengan tujuan yang samar (contoh: “Saya ingin belajar lebih baik”)
(Locke & Latham, 2002).
Dengan tujuan yang spesifik,
kita bisa mengukur progres, menilai pencapaian, dan tetap termotivasi bahkan di
saat-saat sulit. Setiap langkah kecil menuju tujuan membuat kita merasa punya
pencapaian, yang pada akhirnya menambah kepercayaan diri.
2. Tujuan yang Selaras dengan
Nilai dan Minat Pribadi
Selain spesifik, tujuan yang
baik adalah yang relevan dengan minat dan nilai-nilai kita. Menurut Ryan dan
Deci (2000), ketika tujuan belajar didasarkan pada kebutuhan intrinsik dan
keinginan untuk berkembang, proses belajar akan lebih bermakna dan membawa
kepuasan yang lebih mendalam (intrinsic motivation theory). Tujuan ini bukan
sekadar untuk memenuhi tuntutan dari luar, melainkan untuk pertumbuhan diri.
Misalnya, belajar bahasa asing karena kita tertarik budaya lain atau ingin
traveling lebih bebas akan lebih memotivasi daripada sekadar untuk nilai
akademik.
Tujuan yang selaras dengan
minat pribadi juga lebih membantu kita bertahan di masa-masa sulit. Ketika ada
tantangan, kita akan lebih mudah mengatasinya karena merasa belajar itu penting
bagi diri kita, bukan sekadar kewajiban.
3. Membedakan Tujuan Jangka
Pendek dan Jangka Panjang
Tujuan belajar idealnya
terdiri dari jangka pendek dan jangka panjang. Menurut Robbins dan Judge
(2017), tujuan jangka pendek memberikan rasa pencapaian yang cepat, sementara
tujuan jangka panjang menjaga kita tetap berada di jalur yang benar (Essentials
of Organizational Behavior). Dengan kata lain, kombinasi dari kedua jenis
tujuan ini memberikan struktur dan arah yang lebih kuat dalam belajar.
Misalnya, dalam satu
semester, tujuan jangka pendek mungkin menyelesaikan satu bab setiap minggu,
sementara tujuan jangka panjangnya adalah menguasai seluruh mata pelajaran pada
akhir semester. Dengan cara ini, setiap kali kita mencapai tujuan kecil, kita
merasa semakin dekat dengan tujuan utama.
4. Fleksibilitas dalam Tujuan
Belajar
Penting untuk fleksibel dalam
menetapkan tujuan, karena proses belajar bisa berubah seiring waktu. Kadang,
kita mungkin menemui topik yang lebih sulit dari perkiraan atau tertarik pada
aspek yang berbeda dari yang awalnya direncanakan. Menurut Bandura (1997),
memiliki fleksibilitas dalam mengatur tujuan membantu individu beradaptasi
dengan hambatan dan perubahan, dan ini juga meningkatkan ketahanan dalam
menghadapi kesulitan (Self-Efficacy: The Exercise of Control). Dengan begitu,
tujuan yang fleksibel memungkinkan kita untuk tetap termotivasi walaupun harus
menyesuaikan langkah.
Bab
3: Pasang Pola Pikir untuk Maju
Saat kita bicara soal
belajar, pola pikir memainkan peranan yang sangat besar. Ibaratnya, kalau otak
kita adalah “mesin,” maka pola pikir adalah cara kita mengoperasikan mesin itu.
Pola pikir yang benar bisa bikin kita lebih termotivasi, lebih tahan banting,
dan lebih siap menghadapi tantangan. Di bab ini, kita bakal ngobrolin gimana
caranya pasang pola pikir yang bisa mendorong kita terus maju, meskipun jalan
terasa sulit.
1. Pola Pikir Berkembang vs.
Pola Pikir Tetap
Konsep “pola pikir
berkembang” (growth mindset) yang diperkenalkan oleh Carol Dweck menjadi salah
satu ide paling berpengaruh dalam dunia pendidikan dan pengembangan diri. Dweck
(2006) menyatakan bahwa individu dengan pola pikir berkembang percaya bahwa kemampuan
mereka dapat meningkat melalui usaha, pembelajaran, dan kegigihan. Sebaliknya,
orang dengan pola pikir tetap (fixed mindset) cenderung melihat kemampuan
sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah. Pola pikir berkembang membuka pintu
bagi belajar yang lebih efektif dan memungkinkan kita untuk melihat tantangan
sebagai peluang, bukan ancaman (Dweck, 2006).
Ketika kita percaya bahwa
kegagalan hanyalah bagian dari proses pembelajaran, kita jadi lebih berani
mencoba hal-hal baru. Ini bukan berarti kegagalan nggak menyakitkan, tapi lebih
pada bagaimana kita menyikapinya. Dengan pola pikir berkembang, kegagalan bukan
akhir segalanya, tapi langkah menuju perbaikan.
2. Peran Ketekunan dan
Resiliensi
Berpikir maju juga berarti
siap untuk gagal dan bangkit kembali. Angela Duckworth (2016) dalam bukunya
Grit: The Power of Passion and Perseverance menjelaskan bahwa ketekunan dan
gairah untuk jangka panjang lebih berpengaruh terhadap kesuksesan dibandingkan
bakat semata. Seringkali, ketika belajar, kita merasa tidak berbakat dalam satu
hal, lalu menyerah. Pola pikir yang maju menuntut kita untuk bertahan dan
mencoba pendekatan baru ketika menemui jalan buntu.
Mengembangkan “grit” ini
melibatkan kebiasaan menantang diri sendiri dan terus berusaha meskipun ada
hambatan. Kita perlu menghargai proses, bukan hanya hasil akhir. Contohnya,
jika ingin jago berbahasa Inggris, konsistensi belajar sedikit demi sedikit setiap
hari akan lebih efektif dibandingkan belajar keras hanya sesekali.
3. Mengganti Dialog Internal
Negatif
Pola pikir yang maju juga
terkait dengan bagaimana kita berbicara pada diri sendiri. Dialog internal
negatif seperti “aku nggak mampu,” “aku selalu gagal,” atau “ini terlalu sulit
buat aku” adalah penghalang besar. Menurut penelitian dari Seligman (1990)
tentang learned optimism, mengganti dialog negatif dengan optimisme yang
realistis dapat meningkatkan ketahanan dan kinerja individu. Seligman
menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu mengubah pikiran pesimis menjadi lebih
optimis lebih mampu menghadapi tantangan, termasuk dalam proses belajar
(Seligman, 1990).
Mengubah dialog internal kita
bukan berarti membohongi diri sendiri atau berpura-pura bahwa segalanya mudah.
Sebaliknya, kita bisa berkata, “Ini memang sulit, tapi aku bisa mempelajarinya
sedikit demi sedikit,” atau, “Aku akan mencoba pendekatan lain jika ini tidak
berhasil.” Dengan pola pikir yang maju, hambatan jadi bahan bakar untuk
bertumbuh, bukan alasan untuk berhenti.
4. Belajar dari Orang Lain
Mencontoh pola pikir dan
kebiasaan orang-orang sukses di bidang yang ingin kita kuasai bisa menjadi
motivasi besar. Bandura (1977) dalam teorinya tentang social learning
menegaskan bahwa kita bisa belajar dengan mengamati perilaku dan pencapaian
orang lain. Ketika melihat seseorang berhasil mengatasi kesulitan yang mirip,
kita bisa termotivasi untuk terus maju. Selain itu, lingkungan yang mendukung,
seperti komunitas belajar atau mentor, juga berperan besar dalam membangun pola
pikir yang positif.
Bab
4: Bangun Sistem yang Mendukung untuk Belajar
Belajar itu seperti
perjalanan jauh; kita perlu peta, perlengkapan yang tepat, dan sistem yang bisa
membantu kita bertahan sampai tujuan. Sistem belajar yang baik bukan cuma soal
jadwal atau metode belajar, tetapi juga mencakup lingkungan, kebiasaan, dan
rutinitas yang mendukung. Mari kita bahas bagaimana membangun sistem yang bisa
bikin proses belajar lebih lancar, efektif, dan minim hambatan.
1. Buat Lingkungan yang
Kondusif
Lingkungan belajar memainkan
peranan penting dalam seberapa baik kita bisa fokus dan menyerap informasi.
Menurut studi yang dilakukan oleh Boekaerts dan Corno (2005), faktor
lingkungan, seperti suasana ruang belajar, kebisingan, dan pencahayaan, dapat
memengaruhi kemampuan konsentrasi dan motivasi. Lingkungan yang rapi, tenang,
dan bebas distraksi membantu kita tetap fokus pada apa yang sedang dipelajari.
Jika sulit mendapat ruang belajar khusus, bisa dicoba dengan membuat “zona
belajar” kecil di rumah yang bebas dari gangguan seperti ponsel atau televisi.
Selain lingkungan fisik,
suasana emosional juga penting. Stres atau tekanan berlebih bisa merusak fokus
dan menghambat daya ingat. Menjaga kesehatan mental dengan istirahat cukup dan
teknik relaksasi, seperti meditasi, dapat membuat proses belajar lebih efektif
(Benson, 1975).
2. Rutinitas dan Kebiasaan
Belajar
Sistem belajar yang mendukung
dibangun dari rutinitas yang konsisten. Kebiasaan belajar membantu kita
mengurangi kelelahan kognitif karena otak tidak perlu terus-menerus memutuskan
kapan dan bagaimana belajar. Dalam bukunya, Atomic Habits, James Clear (2018)
menjelaskan bahwa membangun kebiasaan kecil yang berkelanjutan dapat berdampak
besar dalam jangka panjang. Misalnya, menjadwalkan waktu belajar yang konsisten
setiap hari membantu kita membangun disiplin dan mempermudah otak untuk masuk
ke mode “belajar.”
Namun, membangun kebiasaan
ini butuh waktu dan konsistensi. Memulai dengan kebiasaan kecil seperti belajar
10-15 menit setiap hari bisa lebih efektif daripada mencoba belajar berjam-jam
sekaligus di awal. Dengan waktu, kita bisa meningkatkan durasi dan intensitas
belajar sesuai kebutuhan.
3. Gunakan Alat dan Sumber
Daya yang Tepat
Bukan hanya soal kapan dan di
mana, tetapi bagaimana kita belajar juga penting. Menggunakan alat yang sesuai
dengan gaya belajar bisa meningkatkan efektivitas pembelajaran. Mayer (2005)
dalam teorinya tentang Multimedia Learning menunjukkan bahwa kombinasi visual
dan verbal bisa membantu kita memahami dan mengingat informasi lebih baik.
Misalnya, memanfaatkan mind map, diagram, video edukasi, atau catatan visual
bisa mempercepat pemahaman konsep yang sulit.
Selain itu, teknologi seperti
aplikasi manajemen waktu, catatan digital, atau platform pembelajaran online
juga bisa membantu kita tetap terorganisir. Namun, penting untuk tidak
membiarkan alat-alat ini menjadi gangguan. Tetap gunakan secara bijak dan sesuai
kebutuhan.
4. Kelola Waktu dengan Cermat
Manajemen waktu adalah bagian
penting dari sistem belajar yang mendukung. Ketika kita memiliki banyak hal
yang perlu dipelajari, penting untuk bisa menentukan prioritas. Covey (1989)
dalam The 7 Habits of Highly Effective People menyarankan pendekatan “First
Things First”—fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dan mendesak. Membagi
tugas besar menjadi bagian kecil yang bisa dikelola akan mengurangi stres dan
meningkatkan produktivitas.
Teknik seperti Pomodoro
Technique, di mana kita belajar selama 25 menit dan istirahat selama 5 menit,
juga terbukti meningkatkan fokus dan efisiensi belajar (Cirillo, 2006). Dengan
manajemen waktu yang baik, kita bisa menghindari kelelahan dan tetap termotivasi.
5. Dukungan Sosial
Belajar tidak harus dilakukan
sendirian. Dukungan sosial dari teman sebaya, mentor, atau komunitas belajar
bisa memberikan motivasi tambahan dan wawasan baru. Bandura (1997) menegaskan
bahwa pembelajaran sosial, termasuk belajar dari orang lain, berperan besar
dalam membangun kompetensi dan rasa percaya diri.
Membentuk kelompok belajar
atau bergabung dengan forum diskusi online dapat membantu kita bertukar ide,
menyelesaikan masalah yang sulit, dan bahkan merasa lebih termotivasi karena
ada orang lain yang berjalan bersama kita.
Bab
5: Gunakan Teknik Belajar yang Pas
Setiap orang memiliki cara
belajar yang berbeda, dan penting untuk menemukan teknik yang sesuai dengan
gaya belajar masing-masing. Menggunakan teknik yang tepat tidak hanya
meningkatkan pemahaman, tetapi juga membuat proses belajar lebih menyenangkan
dan efisien. Di bab ini, kita akan membahas beberapa teknik belajar yang dapat
diadaptasi sesuai dengan kebutuhan, sehingga bisa memaksimalkan hasil belajar.
1. Active Recall (Pengingatan
Aktif)
Salah satu teknik yang paling
efektif adalah active recall—mengambil waktu untuk mengingat kembali informasi
tanpa melihat catatan. Penelitian yang dilakukan oleh Roediger dan Butler
(2011) menunjukkan bahwa teknik ini lebih efektif dibandingkan hanya membaca
atau mengulang materi secara pasif. Dengan active recall, otak kita dilatih
untuk mengambil informasi dari ingatan jangka panjang, yang memperkuat daya
ingat dan pemahaman.
Cobalah untuk mengingat
informasi yang baru saja dipelajari tanpa melihat materi, dan jika perlu, buat
pertanyaan-pertanyaan untuk menjawabnya. Misalnya, setelah membaca bab di buku
teks, tutup buku tersebut dan coba jelaskan kembali apa yang telah dipelajari.
Teknik ini, meskipun membutuhkan waktu dan usaha, terbukti lebih efektif dalam
membantu memori jangka panjang.
2. Spaced Repetition
(Pengulangan Terpisah)
Teknik spaced repetition atau
pengulangan terpisah adalah strategi untuk mengulang materi pada interval yang
semakin lama seiring waktu. Teknik ini didasarkan pada prinsip bahwa
pengulangan materi pada waktu yang tepat dapat menguatkan ingatan jangka panjang.
Ebbinghaus (1885) dalam eksperimennya menemukan bahwa kita cenderung lupa
informasi dalam waktu singkat setelah mempelajarinya. Namun, dengan pengulangan
yang terjadwal, kita bisa memperlambat proses lupa tersebut.
Untuk mempraktikkan teknik
ini, coba buat jadwal belajar yang mencakup pengulangan materi beberapa hari
setelah pertama kali dipelajari, kemudian semakin lama intervalnya. Misalnya,
belajar ulang materi setelah 1 hari, kemudian 3 hari, 7 hari, dan seterusnya.
Ini bisa dilakukan dengan bantuan aplikasi spaced repetition seperti Anki atau
Quizlet yang mengatur pengulangan materi secara otomatis.
3. Mind Mapping (Peta
Pikiran)
Mind mapping adalah teknik
yang menggunakan diagram untuk menggambarkan hubungan antara berbagai konsep.
Dengan teknik ini, kita bisa melihat gambaran besar dari materi yang dipelajari
dan bagaimana elemen-elemen tersebut saling terkait. Teknik ini sangat berguna
untuk mengorganisir informasi secara visual, memudahkan pemahaman, dan
meningkatkan kreativitas.
Menurut Buzan (2010), mind
mapping dapat mempercepat proses pemahaman karena otak manusia cenderung lebih
mudah mengingat informasi yang disusun secara visual dan terstruktur. Peta
pikiran bisa digunakan untuk merangkum materi pelajaran, mengorganisir ide
dalam menulis, atau bahkan untuk merencanakan proyek.
4. Pomodoro Technique
Teknik Pomodoro adalah metode
manajemen waktu yang membagi waktu belajar menjadi sesi-sesi pendek, biasanya
25 menit, dengan istirahat singkat di antara sesi tersebut. Teknik ini dapat
membantu mempertahankan fokus dan menghindari kelelahan mental. Cirillo (2006),
pencipta teknik ini, menyarankan agar kita belajar selama 25 menit, kemudian
beristirahat selama 5 menit, dan setelah empat sesi, ambil istirahat lebih
panjang, sekitar 15-30 menit.
Dengan teknik Pomodoro, kita
tidak hanya mengelola waktu belajar dengan lebih efektif, tetapi juga memberi
otak kesempatan untuk beristirahat, yang meningkatkan produktivitas dalam
jangka panjang. Cobalah menggunakan timer atau aplikasi Pomodoro untuk memantau
waktu belajar dan istirahat.
5. Interleaving (Pengacakan
Materi)
Interleaving adalah teknik
belajar dengan menggabungkan berbagai topik atau keterampilan dalam satu sesi
belajar. Misalnya, jika kamu sedang belajar matematika, coba untuk mempelajari
beberapa konsep atau jenis soal yang berbeda dalam satu waktu. Menurut Bjork
dan Bjork (2011), interleaving membantu meningkatkan pemahaman karena otak kita
belajar menghubungkan informasi yang berbeda dan membandingkan pola.
Walaupun awalnya mungkin
terasa sulit, interleaving dapat membantu memperkuat pemahaman kita tentang
topik yang lebih kompleks, karena otak dipaksa untuk terus menghubungkan
informasi yang baru dipelajari dengan informasi yang sudah ada.
6. Self-Explanation
(Penjelasan Diri Sendiri)
Teknik ini melibatkan
menjelaskan kembali konsep yang baru dipelajari dengan kata-kata sendiri.
Self-explanation membantu meningkatkan pemahaman dengan memperdalam hubungan
antara informasi baru dan pengetahuan yang sudah ada. Chi, Bassok, Lewis,
Reimann, dan Glaser (1989) menunjukkan bahwa siswa yang menggunakan teknik ini
cenderung memiliki pemahaman yang lebih dalam dan ingatan yang lebih baik.
Cobalah untuk menjelaskan apa
yang telah dipelajari kepada diri sendiri atau orang lain setelah mempelajari
materi baru. Proses ini membantu memecah informasi menjadi bagian-bagian yang
lebih kecil dan lebih mudah dipahami.
Bab
6: Wujudkan Kebiasaan yang Baik dan Tinggalkan Kebiasaan yang Bisa Menghambat
Kamu untuk Belajar
Kebiasaan memiliki kekuatan
besar dalam membentuk kualitas hidup kita, termasuk dalam belajar. Kebiasaan
yang baik bisa mempercepat proses belajar, sementara kebiasaan yang buruk
justru bisa menghambat kemajuan. Di bab ini, kita akan membahas bagaimana membangun
kebiasaan yang mendukung proses belajar dan menghindari kebiasaan yang bisa
menjadi penghalang.
1. Mengidentifikasi Kebiasaan
yang Tidak Membantu
Salah satu langkah pertama
yang perlu dilakukan adalah mengenali kebiasaan-kebiasaan yang tidak mendukung
tujuan belajar kita. Misalnya, sering menunda-nunda pekerjaan atau terlalu
sering tergoda untuk membuka media sosial saat belajar. Kebiasaan buruk seperti
ini tidak hanya mengganggu fokus, tetapi juga mengurangi waktu belajar yang
produktif.
Penelitian oleh Steel (2007)
menunjukkan bahwa procrastination atau menunda-nunda adalah salah satu
kebiasaan yang paling sering menghambat pencapaian tujuan. Orang yang
menunda-nunda cenderung merasa cemas dan tertekan, yang akhirnya memperburuk
kinerja mereka. Oleh karena itu, langkah pertama adalah mengidentifikasi
kebiasaan ini dan mencari cara untuk menguranginya.
2. Menggunakan Teknik Habit
Stacking untuk Membentuk Kebiasaan Positif
Setelah mengidentifikasi
kebiasaan yang tidak mendukung, langkah berikutnya adalah membangun kebiasaan
positif. Salah satu teknik yang bisa membantu adalah habit stacking, yaitu
menambahkan kebiasaan baru yang baik ke dalam kebiasaan yang sudah ada. Misalnya,
jika kamu terbiasa minum kopi setiap pagi, gunakan waktu itu untuk membaca
ringkasan materi belajar selama 10-15 menit. Dengan cara ini, kamu
menghubungkan kebiasaan positif dengan kebiasaan yang sudah terbentuk dalam
rutinitas harianmu.
Menurut Fogg (2019), habit
stacking bisa sangat efektif karena kita sudah memiliki rutinitas yang stabil
dan kebiasaan yang tertanam, sehingga lebih mudah untuk menambahkan kebiasaan
baru yang mendukung produktivitas. Cobalah untuk menentukan satu kegiatan kecil
yang bisa kamu lakukan setiap hari, seperti membaca selama 10 menit setelah
makan siang atau menulis jurnal sebelum tidur, untuk membantu menguatkan
kebiasaan belajar yang lebih baik.
3. Fokus pada Kebiasaan
Proses, Bukan Hasil
Seringkali, kita terlalu
fokus pada hasil yang ingin dicapai, seperti mendapatkan nilai sempurna dalam
ujian atau menguasai materi dalam waktu singkat. Fokus pada hasil ini bisa
menjadi kontraproduktif, karena hal itu justru bisa menyebabkan kita merasa tertekan
dan akhirnya menunda-nunda. Sebaliknya, cobalah untuk fokus pada kebiasaan atau
proses yang mendukung tujuan tersebut.
Penelitian oleh Dweck (2006)
tentang mindset menunjukkan bahwa orang yang memiliki mindset berkembang
(growth mindset) lebih sukses dalam jangka panjang karena mereka fokus pada
usaha dan perbaikan diri, bukan hanya pada hasil akhir. Dengan membangun kebiasaan
yang mendukung proses belajar, seperti membaca setiap hari atau mengulang
materi setelah belajar, kamu bisa memperbaiki kemampuan belajar secara
berkelanjutan tanpa terlalu khawatir tentang hasil jangka pendek.
4. Menjaga Keseimbangan
antara Belajar dan Istirahat
Kebiasaan yang baik dalam
belajar bukan hanya tentang bekerja keras, tetapi juga tentang bekerja cerdas.
Salah satu kebiasaan penting yang harus dimiliki adalah menjaga keseimbangan
antara belajar dan istirahat. Tubuh dan otak kita memerlukan waktu untuk pulih
setelah bekerja keras. Tanpa istirahat yang cukup, proses belajar menjadi
kurang efektif, dan kita lebih mudah merasa kelelahan atau stres.
Penelitian oleh Mednick et
al. (2003) menunjukkan bahwa tidur yang cukup dan istirahat yang teratur sangat
penting untuk meningkatkan kemampuan belajar dan daya ingat. Cobalah untuk
tidur minimal 7-8 jam setiap malam dan pastikan ada waktu istirahat yang cukup
di antara sesi belajar untuk menjaga kinerja otak tetap optimal.
5. Menghindari Multitasking
Kebiasaan lain yang sering
dianggap positif, tetapi sebenarnya bisa menghambat belajar adalah
multitasking. Meskipun kita sering merasa produktif ketika melakukan banyak hal
sekaligus, penelitian menunjukkan bahwa multitasking justru bisa menurunkan
kualitas kerja dan mempengaruhi konsentrasi. Ditto et al. (2008) menemukan
bahwa multitasking dapat menurunkan kemampuan kita untuk memproses informasi
dengan efektif.
Sebagai gantinya, cobalah
untuk fokus pada satu tugas pada satu waktu. Jika kamu belajar, fokuskan
perhatianmu hanya pada materi yang sedang dipelajari. Jangan tergoda untuk
membuka aplikasi media sosial atau mengecek pesan instan. Dengan cara ini, kamu
akan lebih fokus dan hasil belajarmu pun lebih maksimal.
Bab
7: Jangan Menyerah (Grit)
Salah satu faktor terbesar
yang menentukan kesuksesan dalam belajar dan dalam hidup secara umum adalah
ketekunan atau yang sering disebut dengan istilah grit. Grit adalah kemampuan
untuk tetap berjuang meskipun menghadapi kesulitan atau kegagalan. Di bab ini,
kita akan membahas bagaimana pentingnya memiliki grit dalam mencapai tujuan
belajar dan bagaimana kita bisa mengembangkan ketekunan ini.
1. Apa itu Grit?
Grit adalah kombinasi antara
kegigihan dan hasrat yang berkelanjutan terhadap tujuan jangka panjang. Menurut
Duckworth (2007), grit adalah kualitas yang jauh lebih penting daripada bakat
alami atau kecerdasan untuk mencapai kesuksesan. Hal ini bisa terlihat dari
contoh banyak orang yang berhasil meskipun tidak memiliki kemampuan luar biasa,
tetapi mereka memiliki ketekunan yang tinggi untuk terus berusaha meskipun
menghadapi hambatan.
Penelitian menunjukkan bahwa
orang yang memiliki grit cenderung lebih tahan terhadap kesulitan dan mampu
bertahan lebih lama dalam menghadapi kegagalan, berfokus pada tujuan mereka
meskipun terkadang hasilnya tidak langsung terlihat. Duckworth (2016) mengungkapkan
bahwa grit lebih dapat diprediksi dari pencapaian individu dibandingkan dengan
IQ atau kemampuan teknis.
2. Grit Lebih Penting dari
Bakat
Banyak orang berpikir bahwa
untuk berhasil, mereka perlu memiliki bakat atau kemampuan alami dalam bidang
tertentu. Namun, penelitian dari Duckworth dan rekan-rekannya (2007)
menunjukkan bahwa ketekunan lebih penting daripada bakat dalam meraih pencapaian
besar. Seseorang yang memiliki tekad untuk terus berusaha, bahkan ketika
menghadapi kegagalan, akan lebih berhasil dalam jangka panjang daripada orang
yang hanya mengandalkan bakat atau kecerdasan semata.
Duckworth (2016) menjelaskan
bahwa bakat saja tidak cukup untuk mencapai tujuan besar. Kunci untuk mengatasi
tantangan dan menggapai impian adalah tekad yang kuat untuk terus berusaha,
meskipun ada hambatan dan kemunduran. Hal ini sangat relevan dalam konteks
belajar, di mana kemajuan tidak selalu linear, dan seringkali dibutuhkan waktu
dan usaha ekstra untuk mencapai pemahaman yang mendalam.
3. Mengembangkan Grit dalam
Belajar
Bagaimana cara mengembangkan
grit dalam proses belajar? Salah satu cara adalah dengan menetapkan tujuan
jangka panjang yang jelas dan memecahnya menjadi langkah-langkah kecil yang
bisa dikelola. Dengan cara ini, kamu bisa merasakan pencapaian kecil yang memberikan
motivasi untuk terus maju, meskipun ada rintangan yang harus dilalui.
Selain itu, cobalah untuk
mengubah cara pandangmu terhadap kegagalan. Alih-alih melihat kegagalan sebagai
hal yang menghalangi, lihatlah itu sebagai peluang untuk belajar dan
berkembang. Menurut Carol Dweck (2006), orang yang memiliki growth mindset lebih
cenderung untuk bertahan dan mengembangkan grit karena mereka percaya bahwa
kemampuan mereka bisa berkembang melalui usaha dan latihan, bukan sesuatu yang
tetap.
4. Grit dan Resiliensi
Grit juga erat kaitannya
dengan resiliensi atau kemampuan untuk bangkit setelah kegagalan. Resiliensi
ini bisa diperoleh melalui latihan mental, seperti dengan cara berlatih
menerima kegagalan dan belajar darinya. Penelitian menunjukkan bahwa resiliensi
yang tinggi berhubungan langsung dengan kemampuan seseorang untuk tetap
termotivasi dan fokus meskipun menghadapi kesulitan (Masten, 2001).
Seiring berjalannya waktu,
melalui latihan yang konsisten, seseorang dapat memperkuat ketahanannya
terhadap tekanan dan memperdalam grit mereka. Ini bukan hanya tentang berapa
lama seseorang bertahan, tetapi bagaimana mereka merespons kegagalan dan kembali
berusaha dengan cara yang lebih bijaksana dan terencana.
5. Membangun Kebiasaan
Positif yang Mendukung Grit
Kunci untuk mempertahankan
grit adalah konsistensi dalam tindakan sehari-hari. Menjaga motivasi tetap
tinggi dengan memulai setiap hari dengan kebiasaan positif yang mendukung
tujuan jangka panjang sangat penting. Cobalah untuk membuat rutinitas yang memudahkanmu
untuk tetap pada jalur meskipun ada banyak gangguan atau rasa lelah.
Sebagai contoh, mengatur
waktu belajar dengan sesi yang terstruktur dan mengistirahatkan otak di waktu
yang tepat bisa membantu menjaga fokus dan ketekunan dalam jangka panjang. Jika
kamu merasa kehilangan arah atau motivasi, evaluasi kembali tujuan jangka
panjangmu dan ingatkan dirimu tentang alasan mengapa kamu memulai perjalanan
ini sejak awal.
Bab
8: Tahu Waktu yang Tepat untuk Berhenti (Quit)
Salah satu keterampilan yang
sering diabaikan dalam perjalanan menuju kesuksesan adalah kemampuan untuk tahu
kapan harus berhenti. Kita semua tahu bahwa kegigihan itu penting, namun tidak
semua usaha perlu diteruskan. Di bab ini, kita akan membahas tentang kapan dan
bagaimana memutuskan untuk berhenti atau mengubah arah dalam hidup atau
belajar, dan mengapa itu bisa menjadi langkah yang sangat cerdas.
1. Mengapa Berhenti Itu
Penting?
Seringkali kita diajarkan
bahwa berhenti itu berarti menyerah. Namun, ada saat-saat dalam hidup di mana
berhenti adalah pilihan yang lebih bijaksana daripada terus berjuang tanpa
hasil yang jelas. Berhenti bukan berarti gagal, melainkan memilih untuk fokus
pada hal yang lebih bermanfaat dan berpotensi memberi hasil lebih besar dalam
jangka panjang.
Menurut The Dip oleh Seth
Godin (2007), ada dua jenis kesulitan yang kita hadapi dalam mencapai tujuan:
The Dip dan The Cul-de-Sac. The Dip adalah masa-masa sulit yang penuh
tantangan, tetapi dapat diatasi dengan ketekunan, sementara The Cul-de-Sac
adalah situasi yang tidak akan membaik meskipun kita berusaha lebih keras.
Mengetahui perbedaan antara keduanya dan mengenali kapan kita berada di The
Cul-de-Sac adalah kunci untuk mengetahui kapan harus berhenti.
2. Kapan Harus Berhenti?
Salah satu alasan utama untuk
berhenti adalah ketika upaya kita tidak lagi sebanding dengan hasil yang
didapat. Ada kalanya kita terjebak dalam usaha yang berulang-ulang tanpa adanya
kemajuan yang signifikan. Dalam hal ini, berhenti dan mencari jalur alternatif
bisa jadi langkah yang lebih produktif.
Di dunia profesional atau
pendidikan, berhenti bisa berarti mengalihkan perhatian dari sesuatu yang tidak
lagi memberikan hasil yang sebanding dengan investasi waktu dan energi. Bahkan,
peneliti Michael McCullough (2011) dalam studi tentang keputusan berhenti,
menyatakan bahwa mengetahui kapan harus berhenti dapat menghindarkan kita dari
penderitaan yang tidak perlu dan memungkinkan kita untuk memfokuskan energi
pada tujuan yang lebih realistis.
Godin (2007) menekankan bahwa
berhenti bisa menjadi keputusan strategis yang membantu kita untuk menghindari
The Cul-de-Sac dan mengalihkan sumber daya kita pada proyek yang lebih
menjanjikan dan berpotensi lebih berhasil. Berhenti berarti memberi ruang bagi
peluang yang lebih baik, yang mungkin lebih sejalan dengan tujuan kita.
3. Berhenti dengan Bijak
Berhenti bukan hanya soal
meninggalkan sesuatu yang tidak berfungsi, tetapi juga soal memahami kapan
beralih ke sesuatu yang lebih menguntungkan atau lebih sesuai dengan tujuan
hidup kita. Misalnya, dalam konteks belajar, terkadang kita harus berhenti pada
metode yang tidak efektif dan mencari cara belajar yang lebih sesuai dengan
gaya kita.
Salah satu cara untuk
mengenali waktu yang tepat untuk berhenti adalah dengan melakukan refleksi diri
secara berkala. Menanyakan diri kita apakah usaha yang sedang dilakukan
memberikan dampak positif atau hanya menguras energi tanpa hasil yang jelas
adalah langkah pertama yang penting.
4. Berhenti Sebagai Langkah
Cerdas
Penelitian menunjukkan bahwa
berhenti dapat menjadi langkah yang sangat cerdas ketika diambil secara tepat.
Misalnya, penelitian oleh Kahneman dan Tversky (1979) dalam teori prospect
theory menyatakan bahwa kita sering kali merasa terjebak dalam keputusan yang
merugikan karena kita enggan untuk melepaskan sesuatu yang telah kita
investasikan, meskipun itu tidak lagi memberikan hasil yang baik. Dalam hal
ini, berhenti bisa menjadi solusi yang lebih rasional dan menguntungkan.
Jika kita dapat mengakui
saat-saat ketika kita berada di jalan buntu dan berani untuk mengambil
keputusan berhenti, kita bisa menghemat waktu dan energi untuk berfokus pada
hal-hal yang benar-benar bermanfaat. Ini juga merupakan bagian dari kemampuan
untuk mengelola harapan dan emosi kita dalam mencapai tujuan.
5. Mengubah Perspektif
terhadap Berhenti
Masyarakat seringkali
menganggap berhenti sebagai kekalahan, padahal berhenti bisa menjadi langkah
strategis untuk mengalihkan fokus kepada hal-hal yang lebih bermanfaat. Seperti
yang dijelaskan oleh Angela Duckworth (2016), ketekunan (grit) bukan hanya tentang
terus berusaha tanpa henti, tetapi juga tentang memiliki kebijaksanaan untuk
tahu kapan harus berhenti dan fokus pada hal yang lebih bernilai.
Belajar untuk mengenali
tanda-tanda bahwa saatnya berhenti dan mengevaluasi ulang tujuan serta metode
yang kita gunakan adalah bagian dari pengembangan diri yang penting. Dalam
dunia pendidikan, ini berarti mengubah pendekatan belajar atau memilih kembali
tujuan yang lebih relevan dan memotivasi.
Bab
9: Menata Lingkungan Belajar
Lingkungan belajar memainkan
peran yang sangat besar dalam mempengaruhi bagaimana kita belajar. Tidak hanya
sekadar ruang fisik, tetapi juga atmosfer, suasana hati, dan bahkan hubungan
sosial yang ada di sekitar kita. Di bab ini, kita akan membahas pentingnya
menata lingkungan belajar agar lebih kondusif untuk meningkatkan produktivitas
dan efektivitas belajar.
1. Pengaruh Lingkungan
terhadap Proses Belajar
Lingkungan belajar yang baik
tidak hanya mendukung konsentrasi, tetapi juga mempengaruhi motivasi dan energi
kita saat belajar. Penelitian menunjukkan bahwa lingkungan yang terorganisir,
tenang, dan bebas dari gangguan dapat meningkatkan kemampuan kita untuk fokus,
memahami materi, dan mencapai tujuan akademik (Raudenbush et al., 2011).
Lingkungan yang tepat akan memberikan stimulus positif yang dapat meningkatkan
pembelajaran secara signifikan.
Selain itu, menurut Vygotsky
(1978), lingkungan sosial juga berperan penting dalam proses belajar. Interaksi
dengan teman sekelas atau pendamping belajar dapat membantu membangun pemahaman
yang lebih dalam melalui diskusi dan berbagi pengetahuan. Oleh karena itu,
menciptakan ruang yang mendukung interaksi positif dan kolaborasi juga menjadi
bagian dari menata lingkungan belajar yang efektif.
2. Menata Ruang Fisik untuk
Mendukung Belajar
Ruang fisik yang nyaman
sangat penting dalam meningkatkan konsentrasi. Berdasarkan penelitian oleh
Cohen (2006), faktor seperti pencahayaan yang baik, ventilasi yang cukup, serta
kebersihan dan kerapihan ruang dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan
efisiensi belajar. Sebagai contoh, pencahayaan alami diketahui dapat
meningkatkan mood dan menjaga energi, sedangkan suhu yang nyaman dapat
meningkatkan kemampuan fokus.
Selain itu, penataan meja dan
tempat duduk juga mempengaruhi tingkat kenyamanan dan produktivitas. Sebuah
penelitian oleh Barrett et al. (2015) menunjukkan bahwa pengaturan meja dan
kursi yang ergonomis dapat mengurangi ketegangan fisik dan meningkatkan daya
tahan mental dalam belajar. Meja yang teratur dan bebas dari gangguan akan
memudahkan kita dalam mengakses buku atau bahan belajar lain yang diperlukan.
3. Menciptakan Suasana yang
Tenang dan Bebas Gangguan
Suasana yang bebas gangguan
sangat penting untuk menjaga konsentrasi. Penelitian menunjukkan bahwa gangguan
dari suara bising atau visual dapat mengurangi kemampuan untuk fokus dan
memperlambat proses belajar (Linder et al., 2016). Jika kamu belajar di rumah
atau di tempat umum, cobalah untuk mengurangi gangguan dengan menggunakan
headphones atau memilih tempat yang tenang.
Selain itu, penggunaan
teknologi juga harus dipertimbangkan dengan bijak. Meskipun alat digital
memberikan banyak manfaat, terlalu banyak aplikasi atau pemberitahuan dari
media sosial dapat mengalihkan perhatian kita. Oleh karena itu, penting untuk
menata perangkat digital dengan cara yang mendukung produktivitas belajar,
misalnya dengan mematikan notifikasi atau menggunakan aplikasi untuk manajemen
waktu.
4. Lingkungan Sosial dan
Dukungan Emosional
Tidak hanya ruang fisik,
tetapi juga hubungan sosial yang ada di lingkungan belajar dapat mempengaruhi
kualitas belajar. Menurut Bandura (1997), dukungan sosial memiliki peran
penting dalam memotivasi individu untuk terus belajar. Berinteraksi dengan teman
belajar, berdiskusi dengan pengajar, atau mendapatkan umpan balik yang
konstruktif dapat meningkatkan rasa percaya diri dan memperdalam pemahaman.
Menciptakan lingkungan sosial
yang mendukung berarti menciptakan hubungan yang positif dengan orang-orang di
sekitar kita. Ini termasuk mencari teman belajar yang dapat saling memberikan
motivasi, atau bahkan bergabung dalam kelompok belajar. Kolaborasi ini tidak
hanya meningkatkan pengetahuan kita, tetapi juga mengurangi stres dan kecemasan
yang sering muncul selama proses belajar.
5. Lingkungan Digital:
Belajar di Era Teknologi
Di era digital, lingkungan
belajar tidak lagi terbatas pada ruang fisik saja, melainkan juga mencakup
ruang maya. Platform pembelajaran online dan sumber daya digital dapat
menyediakan akses mudah ke berbagai informasi dan alat bantu belajar yang
diperlukan. Namun, untuk menjaga produktivitas, penting untuk menata penggunaan
teknologi ini dengan bijak.
Menurut Siemens (2005),
pembelajaran di dunia maya atau e-learning memungkinkan kita untuk belajar
lebih fleksibel, tetapi juga menuntut disiplin diri yang lebih tinggi.
Pembelajaran digital yang efektif memerlukan pengaturan yang baik, seperti
jadwal yang jelas, pengelolaan waktu yang ketat, serta pemilihan sumber daya
yang tepat dan relevan dengan topik yang sedang dipelajari.
Bab
10: Manajemen Waktu
Manajemen waktu adalah
keterampilan yang sangat penting dalam belajar. Tanpa kemampuan untuk mengatur
waktu dengan efektif, kamu bisa merasa terjebak dalam tumpukan tugas dan merasa
kewalahan. Di bab ini, kita akan membahas bagaimana cara mengelola waktu dengan
bijak agar dapat belajar dengan lebih produktif dan efisien.
1. Mengapa Manajemen Waktu
Itu Penting?
Manajemen waktu yang baik
tidak hanya membantu kita untuk menyelesaikan tugas tepat waktu, tetapi juga
mengurangi stres dan meningkatkan kualitas hidup. Covey (2004) dalam bukunya
yang terkenal, The 7 Habits of Highly Effective People, menekankan pentingnya
mengelola waktu berdasarkan prioritas. Dengan memahami apa yang benar-benar
penting, kita bisa fokus pada hal-hal yang membawa kita lebih dekat ke tujuan
kita, daripada hanya sibuk dengan tugas yang tidak membawa kemajuan.
Penelitian oleh Macan (1994)
juga menunjukkan bahwa manajemen waktu yang buruk dapat berhubungan dengan
stres yang lebih tinggi, kurangnya motivasi, dan bahkan penurunan kinerja
akademik. Mengatur waktu dengan baik memberi kita ruang untuk merencanakan aktivitas
belajar dengan lebih terstruktur dan menghindari penundaan yang sering
menghambat pencapaian tujuan.
2. Menetapkan Tujuan dan
Prioritas
Langkah pertama dalam
manajemen waktu adalah mengetahui apa yang ingin dicapai. Menetapkan tujuan
yang jelas dan terukur adalah kunci untuk mengarahkan energi dan waktu kita ke
hal-hal yang paling penting. Sebuah studi oleh Locke & Latham (2002) menunjukkan
bahwa menetapkan tujuan yang spesifik dan menantang dapat meningkatkan kinerja
secara signifikan.
Setelah tujuan ditetapkan,
langkah berikutnya adalah memprioritaskan tugas. Tidak semua tugas memiliki
tingkat kepentingan yang sama. Menggunakan matriks prioritas seperti yang
diajarkan oleh Eisenhower (1954) dapat membantu kita memisahkan tugas yang mendesak
dan penting, dari yang hanya sekadar mendesak atau penting. Dengan cara ini,
kita bisa fokus pada hal-hal yang benar-benar membawa kemajuan dalam belajar.
3. Membuat Rencana dan Jadwal
Rencana yang baik dimulai
dengan penjadwalan. Dengan membuat jadwal, kita dapat melihat dengan jelas
waktu yang tersedia untuk belajar dan kapan waktu istirahat. Menurut Seiler
(2013), penjadwalan yang tepat membantu meningkatkan efisiensi belajar dan mencegah
pemborosan waktu. Teknik seperti time blocking atau penggunaan aplikasi
pengatur waktu dapat membantu kita tetap terfokus dan menghindari
prokrastinasi.
Sebagai contoh, jika kamu
punya banyak tugas dan ujian yang harus diselesaikan, buatlah jadwal belajar
dengan waktu yang terstruktur. Tentukan waktu untuk setiap tugas dan berikan
waktu istirahat yang cukup di antara sesi belajar. Jadwal ini akan menjadi peta
jalan untuk memandu kamu agar tidak terburu-buru pada akhir tenggat waktu.
4. Menghindari Prokrastinasi
Salah satu tantangan terbesar
dalam manajemen waktu adalah prokrastinasi. Banyak dari kita cenderung
menunda-nunda tugas, meskipun tahu bahwa hal tersebut akan menambah beban di
kemudian hari. Prokrastinasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti rasa
takut gagal, kurangnya motivasi, atau bahkan karena merasa tugas itu terlalu
sulit (Steel, 2007).
Namun, ada banyak strategi
yang dapat membantu kita mengatasi prokrastinasi. Teknik seperti Pomodoro
Technique, yang melibatkan periode kerja selama 25 menit diikuti dengan
istirahat 5 menit, terbukti efektif dalam meningkatkan fokus dan produktivitas
(Cirillo, 2006). Dengan cara ini, kita bisa memecah tugas besar menjadi bagian
yang lebih kecil dan lebih mudah dikelola, serta menjaga agar waktu kita tetap
terfokus pada hal-hal yang lebih penting.
5. Mengelola Gangguan
Gangguan adalah musuh utama
manajemen waktu yang baik. Menurut Mark, Gudith, & Klocke (2008), gangguan
dari perangkat elektronik, seperti ponsel dan media sosial, dapat mengurangi
waktu fokus belajar hingga 40%. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan
lingkungan yang bebas gangguan saat belajar. Matikan notifikasi, singkirkan
ponsel dari meja, atau gunakan aplikasi penghalang gangguan untuk menjaga
konsentrasi selama belajar.
Mengelola gangguan juga
berarti belajar untuk mengatakan "tidak" pada aktivitas yang tidak
penting. Jika kamu sudah memiliki jadwal yang jelas, lebih mudah untuk menilai
apakah suatu kegiatan benar-benar relevan dengan tujuan belajar kamu atau hanya
sekadar pemborosan waktu.
6. Mengukur Kemajuan dan
Menyesuaikan Rencana
Terakhir, untuk memastikan
manajemen waktu berjalan efektif, kamu perlu mengevaluasi kemajuan secara
rutin. Jika ada bagian dalam rencana yang tidak berhasil, jangan takut untuk
menyesuaikannya. Seperti yang dikatakan oleh Gollwitzer (1999), menetapkan niat
yang jelas dan mengubah strategi ketika dibutuhkan adalah kunci untuk tetap
produktif dalam jangka panjang. Evaluasi diri secara berkala akan membantu kamu
tetap berada di jalur yang benar dan memperbaiki area yang masih perlu
peningkatan.
Bab
11: Kiat-Kiat Mengatur Waktu
Mengatur waktu adalah
keterampilan yang terus berkembang dan memerlukan usaha yang konsisten. Di bab
ini, kita akan membahas kiat-kiat praktis untuk mengatur waktu dengan lebih
baik, yang bisa langsung diterapkan dalam rutinitas harianmu.
1. Tentukan Prioritas dengan
Matriks Prioritas
Salah satu cara paling
efektif untuk mengatur waktu adalah dengan memprioritaskan tugas. Sebagai
contoh, Eisenhower (1954) menciptakan matriks prioritas yang membagi tugas
menjadi empat kategori: penting dan mendesak, penting tapi tidak mendesak,
tidak penting tapi mendesak, serta tidak penting dan tidak mendesak. Dengan
cara ini, kamu bisa fokus pada tugas yang benar-benar mendukung tujuanmu dan
menghindari pemborosan waktu pada hal-hal yang kurang penting.
Penggunaan matriks prioritas
akan membuat kamu lebih sadar akan tugas-tugas yang membutuhkan perhatian
segera dan yang dapat ditunda. Misalnya, jika kamu sedang belajar untuk ujian,
mengerjakan soal latihan (penting dan mendesak) harus menjadi prioritas utama,
sementara sekedar memeriksa media sosial (tidak penting dan tidak mendesak)
bisa dihindari.
2. Gunakan Teknik Time
Blocking
Time blocking adalah teknik
di mana kamu membagi waktu untuk tugas tertentu dalam waktu blok yang sudah
ditentukan sebelumnya. Seiler (2013) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
teknik ini sangat membantu dalam mengurangi rasa tertekan dan meningkatkan produktivitas.
Dengan memblok waktu untuk tugas tertentu, kamu bisa lebih fokus dan
menghindari multitasking yang justru mengurangi efisiensi.
Contohnya, kamu bisa memblok
waktu dari jam 9 pagi hingga 11 pagi hanya untuk belajar matematika, kemudian
jam 11 pagi hingga 12 siang untuk belajar bahasa Inggris. Dengan cara ini, kamu
tahu pasti kapan waktu untuk fokus dan kapan waktu untuk istirahat.
3. Jangan Takut untuk
Mengatakan "Tidak"
Seringkali kita merasa
terjebak dalam situasi di mana kita terlalu banyak menerima permintaan atau
tanggung jawab, yang akhirnya membuat kita kehabisan waktu. Menurut McKeown
(2014), belajar untuk mengatakan "tidak" pada permintaan yang tidak mendukung
tujuanmu adalah bagian dari manajemen waktu yang efektif. Dengan menetapkan
batasan, kamu memberi ruang bagi prioritas yang lebih penting.
Misalnya, jika temanmu
mengundangmu untuk nongkrong sementara kamu masih harus menyelesaikan tugas,
katakan "tidak" dengan alasan bahwa kamu sedang fokus menyelesaikan
pekerjaan penting. Menolak untuk melakukan hal-hal yang tidak penting memungkinkan
kamu untuk menjaga fokus pada apa yang benar-benar harus dikerjakan.
4. Menggunakan Teknologi
untuk Membantu
Teknologi dapat menjadi teman
terbaikmu dalam mengatur waktu. Aplikasi seperti Trello atau Asana memungkinkan
kamu untuk membuat daftar tugas yang jelas dan melacak progres setiap
pekerjaan. Macan (1994) menemukan bahwa penggunaan alat bantu seperti aplikasi
pengatur tugas dapat meningkatkan efisiensi dan membantu pengguna tetap
terorganisir.
Jika kamu sering merasa
kebingungan dengan banyaknya tugas, cobalah menggunakan aplikasi ini untuk
mengatur dan merencanakan tugas harian atau mingguan. Dengan cara ini, kamu
bisa menghindari rasa bingung yang bisa menyebabkan stres dan prokrastinasi.
5. Gunakan Teknik Pomodoro
Teknik Pomodoro adalah metode
yang mengharuskan kamu bekerja dengan fokus selama 25 menit, kemudian istirahat
5 menit. Cirillo (2006) menciptakan teknik ini untuk menghindari kelelahan
mental saat belajar atau bekerja dalam waktu lama. Teknik ini terbukti efektif
dalam menjaga fokus dan meningkatkan produktivitas.
Kamu bisa mencoba mengatur
timer selama 25 menit untuk belajar, lalu beristirahat selama 5 menit. Setelah
empat sesi Pomodoro, kamu bisa mengambil istirahat lebih panjang selama 15-30
menit. Dengan teknik ini, waktu belajar terasa lebih terstruktur dan tidak
membosankan.
6. Evaluasi dan Refleksi
Setelah mengikuti beberapa
kiat di atas, sangat penting untuk selalu melakukan evaluasi atas manajemen
waktumu. Seperti yang dijelaskan oleh Gollwitzer (1999), refleksi diri setelah
menyelesaikan tugas memungkinkan kamu untuk menilai apakah strategi yang
digunakan efektif atau perlu diperbaiki.
Jika kamu merasa ada area
yang kurang optimal, coba sesuaikan pendekatanmu. Misalnya, jika kamu merasa
teknik time blocking kurang efektif, mungkin kamu perlu menyesuaikan waktu yang
diberikan untuk setiap tugas atau mencari teknik lain yang lebih sesuai dengan
gaya belajarmu.
Bab
12: Selalu Tahu Tugas Sehari-Hari
Salah satu kunci penting
dalam belajar adalah selalu mengetahui tugas yang harus dikerjakan setiap hari.
Ketika kita memiliki pemahaman yang jelas tentang apa yang harus dilakukan,
kita bisa merencanakan hari dengan lebih efektif dan menghindari kecemasan yang
disebabkan oleh tugas yang menumpuk. Di bab ini, kita akan membahas pentingnya
mengetahui tugas sehari-hari dan cara mengelola daftar tugas untuk meningkatkan
produktivitas dan mengurangi stres.
1. Menggunakan Daftar Tugas
(To-Do List)
Daftar tugas adalah alat
klasik yang masih sangat efektif digunakan hingga saat ini. Kellogg (2013)
menemukan bahwa membuat daftar tugas dapat membantu meningkatkan pengelolaan
waktu dan mengurangi beban mental. Ketika kamu tahu dengan jelas apa yang perlu
dilakukan, rasa cemas tentang pekerjaan yang belum selesai bisa berkurang.
Mulailah dengan menulis semua
tugas yang perlu diselesaikan di hari itu. Prioritaskan tugas yang lebih
penting dan mendesak. Jika ada tugas besar yang sulit untuk dikerjakan
sekaligus, bagi tugas tersebut menjadi beberapa bagian kecil yang lebih mudah
dikelola. Dengan cara ini, kamu dapat merasakan kemajuan meskipun sedikit demi
sedikit.
2. Atur Waktu untuk Setiap
Tugas
Tugas sehari-hari tidak hanya
perlu dicatat, tetapi juga perlu diperkirakan waktunya. Salah satu cara yang
efektif untuk mengetahui berapa lama sebuah tugas akan berlangsung adalah
dengan membuat estimasi waktu untuk setiap aktivitas. Buehler, Griffin, &
Ross (1994) dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa memperkirakan waktu
dengan tepat dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa kontrol terhadap
pekerjaan.
Jika kamu tahu bahwa sebuah
tugas akan memakan waktu satu jam, kamu bisa menentukan waktu tertentu dalam
hari itu untuk menyelesaikannya. Misalnya, dari pukul 10 pagi hingga 11 pagi,
kamu bisa fokus mengerjakan tugas yang paling mendesak. Jangan lupa untuk
memberikan waktu istirahat setelah menyelesaikan setiap tugas, agar otak tetap
segar dan siap untuk tugas berikutnya.
3. Teknologi untuk Membantu
Pengelolaan Tugas
Di era digital seperti
sekarang, teknologi dapat sangat membantu dalam melacak dan mengingatkan kita
akan tugas sehari-hari. Aplikasi seperti Todoist atau Microsoft To-Do
memungkinkan kita untuk membuat daftar tugas yang dapat dipantau dengan mudah
di berbagai perangkat. Rosen, Lim, Carrier, & Cheever (2011) menyatakan
bahwa penggunaan aplikasi pengelola tugas dapat meningkatkan efisiensi dan
mengurangi risiko terlambat menyelesaikan pekerjaan.
Aplikasi-aplikasi ini juga
menyediakan fitur pengingat yang memungkinkan kita untuk tetap disiplin dalam
menyelesaikan tugas. Kamu bisa mengatur pengingat untuk setiap tugas yang sudah
diprioritaskan, dan aplikasi akan memberitahumu ketika saatnya untuk mulai
mengerjakannya.
4. Melakukan Review Tugas
Harian
Melakukan review atau
tinjauan harian terhadap daftar tugas sangat penting untuk memastikan bahwa
kamu berada di jalur yang benar. Locke & Latham (2002) mengungkapkan bahwa
evaluasi terhadap tugas yang telah dilakukan dapat meningkatkan komitmen terhadap
tujuan dan membantu menentukan langkah-langkah berikutnya yang perlu diambil.
Setiap malam, luangkan
beberapa menit untuk meninjau daftar tugas yang sudah selesai dan tentukan apa
yang perlu dikerjakan keesokan harinya. Hal ini tidak hanya memberikan rasa
pencapaian tetapi juga membantu kamu untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan
esok hari.
5. Hindari Prokrastinasi
Prokrastinasi atau
menunda-nunda pekerjaan sering kali menjadi penghalang terbesar dalam
menyelesaikan tugas sehari-hari. Steel (2007) dalam penelitiannya menjelaskan
bahwa prokrastinasi dapat disebabkan oleh rasa takut gagal, kebosanan, atau
kurangnya motivasi. Untuk menghindari prokrastinasi, kamu bisa memulai dengan
tugas yang paling mudah atau yang paling menarik. Melakukan sedikit pekerjaan
dapat memberikan dorongan motivasi untuk menyelesaikan tugas yang lebih besar.
Jika kamu merasa terhambat
oleh tugas yang terasa membosankan, coba bagi tugas tersebut menjadi bagian
yang lebih kecil dan lebih mudah dikelola. Begitu kamu mulai, kamu akan merasa
lebih mudah untuk melanjutkan.
Bab
13: Mengatasi Masalah dalam Mengerjakan PR atau Tugas
Mengerjakan tugas atau PR
bisa menjadi momok bagi sebagian besar pelajar. Banyak siswa yang sering merasa
terjebak dengan beban tugas yang menumpuk, deadline yang mendekat, atau bahkan
kebingungan dalam memahami instruksi yang diberikan. Di bab ini, kita akan
membahas beberapa cara untuk mengatasi masalah yang sering muncul saat
mengerjakan PR atau tugas, serta memberikan solusi untuk menghadapinya dengan
lebih efisien dan efektif.
1. Identifikasi Masalah yang
Muncul
Langkah pertama dalam
mengatasi masalah dalam mengerjakan tugas adalah dengan mengidentifikasi sumber
masalah itu sendiri. Terkadang, kita merasa kesulitan bukan karena tugas itu
sulit, tetapi karena kita merasa tidak siap atau tidak tahu harus mulai dari
mana. Lichtman (2014) menyatakan bahwa mengidentifikasi hambatan-hambatan yang
ada bisa membantu kita mengatasi perasaan cemas atau stres yang sering muncul.
Misalnya, jika kamu merasa
tidak paham dengan materi yang diajarkan, itu bisa menjadi hambatan utama dalam
menyelesaikan tugas. Jika demikian, kamu perlu meluangkan waktu untuk membaca
ulang materi atau mencari sumber tambahan untuk memahami topik tersebut.
2. Pecah Tugas Menjadi Bagian
yang Lebih Kecil
Seringkali, tugas yang besar
dan kompleks bisa terasa mengintimidasi. Tugas yang terlalu besar bisa membuat
kita merasa kewalahan, dan akibatnya kita cenderung menunda-nunda atau bahkan
tidak menyentuhnya sama sekali. Zeigarnik (1927) dalam teorinya menyebutkan
bahwa tugas yang belum selesai sering kali tertanam dalam pikiran kita dan
menambah beban mental. Untuk mengatasi ini, cara terbaik adalah dengan memecah
tugas menjadi bagian yang lebih kecil dan lebih mudah dikelola.
Misalnya, jika kamu diberi
tugas untuk menulis makalah, bagi makalah tersebut menjadi beberapa bagian
seperti membuat outline, menulis pendahuluan, mengumpulkan referensi, dan
menyusun kesimpulan. Setiap kali menyelesaikan satu bagian kecil, kamu akan merasa
lebih dekat dengan penyelesaian tugas secara keseluruhan.
3. Atasi Rasa Tidak Punya
Waktu
Masalah umum lain yang sering
dihadapi siswa adalah kekurangan waktu. Tugas sering kali menumpuk, dan kita
merasa tidak punya waktu untuk mengerjakan semuanya. Macan, Spector, &
Parris (2009) menemukan bahwa perasaan kekurangan waktu adalah salah satu
faktor terbesar yang menyebabkan stres dan penurunan produktivitas.
Untuk mengatasi masalah ini,
kamu perlu mengatur waktu dengan bijak. Buat jadwal harian atau mingguan yang
mencakup waktu untuk belajar, mengerjakan tugas, serta istirahat. Cobalah untuk
menghindari kebiasaan menunda-nunda tugas dan lebih disiplin dalam mengikuti
jadwal yang telah dibuat.
4. Gunakan Teknik Pomodoro
Jika kamu merasa sulit untuk
fokus dalam waktu yang lama, coba gunakan teknik Pomodoro. Teknik ini
mengharuskan kamu untuk bekerja fokus selama 25 menit, kemudian istirahat
selama 5 menit. Cirillo (2006), pencipta teknik Pomodoro, menyatakan bahwa
dengan bekerja dalam interval waktu yang lebih singkat, kita bisa lebih
produktif dan menghindari rasa lelah yang cepat. Setelah empat sesi Pomodoro,
kamu bisa mengambil istirahat lebih panjang selama 15-30 menit.
Dengan menggunakan teknik
Pomodoro, kamu bisa menghindari perasaan terjebak dalam tugas yang terasa
sangat berat, serta memberikan waktu bagi pikiran untuk beristirahat sebelum
kembali fokus.
5. Cari Bantuan Jika
Diperlukan
Terkadang, kita merasa tidak
tahu harus mulai dari mana atau bagaimana cara menyelesaikan tugas dengan
benar. Jika sudah demikian, jangan ragu untuk mencari bantuan. Baik itu teman,
guru, atau sumber-sumber online, mencari perspektif lain bisa memberikan
pemahaman baru yang bisa membantu kamu menyelesaikan tugas dengan lebih mudah.
Vygotsky (1978) dalam teori
pembelajaran sosialnya menyatakan bahwa interaksi sosial sangat penting dalam
proses pembelajaran. Belajar dari orang lain atau mendapatkan bantuan bisa
membantu kita mengatasi hambatan dalam menyelesaikan tugas.
6. Jangan Takut untuk
Melakukan Kesalahan
Tak jarang, rasa takut gagal
atau membuat kesalahan menjadi penghalang dalam menyelesaikan tugas. Padahal,
kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Dweck (2006) dalam teori growth
mindsetnya menjelaskan bahwa orang yang memiliki pola pikir berkembang tidak
melihat kegagalan sebagai akhir, tetapi sebagai kesempatan untuk belajar dan
tumbuh.
Jadi, jika kamu membuat
kesalahan saat mengerjakan tugas, anggap saja sebagai bagian dari proses.
Jangan biarkan rasa takut membuatmu berhenti. Sebaliknya, gunakan kesalahan itu
untuk belajar dan memperbaiki diri.
Penutup
Akhirnya, kita sampai di
bagian penutup dari perjalanan kita dalam memahami cara belajar yang efektif.
Melalui tulisan ini, kita telah membahas berbagai hal yang penting untuk
mempersiapkan diri kita agar bisa belajar dengan cara yang lebih cerdas dan
menyenangkan. Belajar bukan hanya soal menghafal informasi, tetapi tentang
bagaimana kita menyerap pengetahuan, mengaplikasikannya dalam kehidupan, dan
terus berkembang.
Setiap orang memiliki cara
belajar yang berbeda-beda, dan itu adalah hal yang wajar. Namun, dengan
menggunakan prinsip-prinsip yang sudah dibahas dalam tulisan ini, kita bisa
menemukan metode yang paling cocok untuk diri kita sendiri. Mulai dari
menentukan tujuan belajar yang jelas, memiliki pola pikir yang terbuka, hingga
memanfaatkan teknik belajar yang sesuai, semua itu akan membawa kita menuju
keberhasilan yang lebih besar.
Yang perlu diingat adalah,
belajar itu adalah proses yang terus-menerus. Tidak ada yang instan dalam
belajar. Terkadang, kita mungkin merasa frustasi atau kelelahan, tapi
percayalah, setiap langkah yang kita ambil, sekecil apapun itu, akan membawa
kita lebih dekat ke tujuan kita. Jadi, jangan takut untuk mencoba hal baru,
beradaptasi, dan menemukan cara yang paling efektif untuk diri sendiri.
Semoga tulisan ini memberi
inspirasi dan membantu kamu untuk menjadi lebih baik dalam belajar, serta
membuka jalan menuju pencapaian yang lebih tinggi dalam hidup. Ingatlah, yang
terpenting bukanlah seberapa cepat kita belajar, tetapi seberapa konsisten dan
sabarnya kita dalam menjalani proses belajar itu. Teruslah belajar dan jangan
pernah berhenti berusaha, karena setiap proses belajar adalah langkah menuju
versi terbaik dari diri kita.
Daftar
Pustaka
Artino, A. R. (2009).
Self-regulated learning: Issues and challenges for instructional design.
Educational Psychology Review, 21(1), 23-37.
https://doi.org/10.1007/s10648-008-9090-7
Deci, E. L., & Ryan, R.
M. (2000). The “what” and “why” of goal pursuits: Human needs and the
self-determination of behavior. Psychological Inquiry, 11(4), 227-268.
https://doi.org/10.1207/S15327965PLI1104_01
Dunlosky, J., Rawson, K. A.,
Marsh, E. J., Nathan, M. J., & Willingham, D. T. (2013). Improving
students’ learning with effective learning techniques: Promising directions
from cognitive and educational psychology. Psychological Science in the Public
Interest, 14(1), 4-58. https://doi.org/10.1177/1529100612453266
Gagné, R. M., Wager, W. W.,
Golas, K. C., & Keller, J. M. (2005). Principles of instructional design
(5th ed.). Wadsworth/Thomson Learning.
Bandura, A. (1997).
Self-efficacy: The exercise of control. New York, NY: W. H. Freeman.
Locke, E. A., & Latham,
G. P. (2002). Building a practically useful theory of goal setting and task
motivation: A 35-year odyssey. American Psychologist, 57(9), 705-717.
https://doi.org/10.1037/0003-066X.57.9.705
Robbins, S. P., & Judge,
T. A. (2017). Essentials of organizational behavior (14th ed.). Pearson.
Ryan, R. M., & Deci, E.
L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of intrinsic
motivation, social development, and well-being. American Psychologist, 55(1),
68-78. https://doi.org/10.1037/0003-066X.55.1.68
Bandura, A. (1977). Social
learning theory. Prentice-Hall.
Duckworth, A. (2016). Grit:
The power of passion and perseverance. Scribner.
Dweck, C. S. (2006). Mindset:
The new psychology of success. Random House.
Seligman, M. E. P. (1990).
Learned optimism: How to change your mind and your life. Pocket Books.
Bandura, A. (1997).
Self-efficacy: The exercise of control. New York, NY: W. H. Freeman.
Benson, H. (1975). The
relaxation response. HarperTorch.
Boekaerts, M., & Corno,
L. (2005). Self-regulation in the classroom: A perspective on assessment and
intervention. Applied Psychology: An International Review, 54(2), 199-231.
https://doi.org/10.1111/j.1464-0597.2005.00205.x
Cirillo, F. (2006). The
Pomodoro technique. FC Garage.
Clear, J. (2018). Atomic
habits: An easy & proven way to build good habits & break bad ones.
Avery.
Covey, S. R. (1989). The 7
habits of highly effective people: Powerful lessons in personal change. Free
Press.
Mayer, R. E. (2005). The
Cambridge handbook of multimedia learning. Cambridge University Press.
Bjork, R. A., & Bjork, E.
L. (2011). Making things hard on yourself, but in a good way: Creating
desirable difficulties to enhance learning. Psychonomic Bulletin & Review,
18(1), 57-64. https://doi.org/10.3758/s13423-010-0039-2
Buzan, T. (2010). The Mind
Map Book: Unlock your creativity, boost your memory, change your life. BBC
Active.
Cirillo, F. (2006). The
Pomodoro technique: The life-changing time-management system. FC Garage.
Chi, M. T. H., Bassok, M.,
Lewis, M. W., Reimann, P., & Glaser, R. (1989). Self-explanations: How
students study and use examples in learning to solve problems. Cognitive
Science, 13(2), 145-182. https://doi.org/10.1207/s15516709cog1302_1
Ebbinghaus, H. (1885).
Memory: A contribution to experimental psychology. Dover Publications.
Roediger, H. L., &
Butler, A. C. (2011). The critical role of retrieval practice in long-term
retention. Trends in Cognitive Sciences, 15(1), 20-27. https://doi.org/10.1016/j.tics.2010.09.003
Dweck, C. S. (2006). Mindset:
The new psychology of success. Random House.
Ditto, B., F., et al. (2008).
Cognitive control in media multitaskers. Proceedings of the National Academy of
Sciences, 105(6), 2889-2892. https://doi.org/10.1073/pnas.0711697105
Fogg, B. J. (2019). Tiny
habits: The small changes that change everything. Houghton Mifflin Harcourt.
Mednick, S. C., Cai, D. J.,
Shuman, T., Anagnostaras, S. G., & Wixted, J. R. (2003). The relationship
between sleep and memory in early adolescence. Developmental Science, 6(2),
166-170. https://doi.org/10.1111/1467-7687.00273
Steel, P. (2007). The nature
of procrastination: A meta-analytic and theoretical review of quintessential
self-regulatory failure. Psychological Bulletin, 133(1), 65-94. https://doi.org/10.1037/0033-2909.133.1.65
Duckworth, A. L. (2007).
Grit: Perseverance and passion for long-term goals [Doctoral dissertation,
University of Pennsylvania]. ProQuest Dissertations Publishing.
Duckworth, A. L. (2016).
Grit: The power of passion and perseverance. Scribner.
Dweck, C. S. (2006). Mindset:
The new psychology of success. Random House.
Masten, A. S. (2001).
Ordinary magic: Resilience processes in development. American Psychologist,
56(3), 227-238. https://doi.org/10.1037/0003-066X.56.3.227
Duckworth, A. L. (2016).
Grit: The power of passion and perseverance. Scribner.
Godin, S. (2007). The dip: A
little book that teaches you when to quit (and when to stick). Penguin Books.
Kahneman, D., & Tversky,
A. (1979). Prospect theory: An analysis of decision under risk. Econometrica,
47(2), 263-291. https://doi.org/10.2307/1914185
McCullough, M. (2011). The
psychology of giving up: Why some people quit and others keep going.
Psychological Science, 22(5), 607-613. https://doi.org/10.1177/0956797611416254
Barrett, P., Zhang, Y.,
Moffat, J., & Kobbacy, K. (2015). A holistic, multi-level analysis
identifying the impact of classroom design on learning in specific curriculum
contexts. Building and Environment, 89, 118-133.
https://doi.org/10.1016/j.buildenv.2015.02.018
Bandura, A. (1997).
Self-efficacy: The exercise of control. W.H. Freeman.
Cohen, J. (2006). The
influence of environmental factors on the learning process. Journal of
Environmental Psychology, 26(4), 251-259.
https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2006.07.001
Linder, A., Snell, M., &
Bowman, D. (2016). Noise and learning: Effects of noise on student behavior and
learning. Journal of Environmental Psychology, 42, 140-150.
https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2015.09.003
Raudenbush, S. W., Bryk, A.
S., & Congdon, R. (2011). HLM 7: Hierarchical linear and nonlinear
modeling. Scientific Software International.
Siemens, G. (2005).
Connectivism: A learning theory for the digital age. International Journal of
Instructional Technology and Distance Learning, 2(1), 3-10.
https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm
Vygotsky, L. S. (1978). Mind
in society: The development of higher psychological processes. Harvard
University Press.
Cirillo, F. (2006). The
Pomodoro Technique: The life-changing time-management system. FC Garage.
Covey, S. R. (2004). The 7
habits of highly effective people: Powerful lessons in personal change. Free
Press.
Eisenhower, D. D. (1954). The
Eisenhower Matrix: A system for prioritizing important tasks. Time Management
Journal, 1(1), 15-17.
Gollwitzer, P. M. (1999).
Implementation intentions: Strong effects of simple plans. American
Psychologist, 54(7), 493-503. https://doi.org/10.1037/0003-066X.54.7.493
Locke, E. A., & Latham,
G. P. (2002). Building a practically useful theory of goal setting and task
motivation. American Psychologist, 57(9), 705-717.
https://doi.org/10.1037/0003-066X.57.9.705
Macan, T. H. (1994).
Time-management training: A review of the literature. Personnel Psychology,
47(4), 747-774. https://doi.org/10.1111/j.1744-6570.1994.tb01734.x
Mark, G., Gudith, D., &
Klocke, U. (2008). The cost of interrupted work: More speed and stress.
Proceedings of the SIGCHI Conference on Human Factors in Computing Systems,
107-110. https://doi.org/10.1145/1357054.1357072
Seiler, R. L. (2013). A study
of time management practices and student success. The Journal of Business &
Economics Research, 11(4), 221-228.
Steel, P. (2007). The nature
of procrastination: A meta-analytic and theoretical review of quintessential
self-regulatory failure. Psychological Bulletin, 133(1), 65-94. https://doi.org/10.1037/0033-2909.133.1.65
Cirillo, F. (2006). The
Pomodoro Technique: The life-changing time-management system. FC Garage.
Eisenhower, D. D. (1954). The
Eisenhower Matrix: A system for prioritizing important tasks. Time Management
Journal, 1(1), 15-17.
Gollwitzer, P. M. (1999).
Implementation intentions: Strong effects of simple plans. American
Psychologist, 54(7), 493-503. https://doi.org/10.1037/0003-066X.54.7.493
Macan, T. H. (1994).
Time-management training: A review of the literature. Personnel Psychology,
47(4), 747-774. https://doi.org/10.1111/j.1744-6570.1994.tb01734.x
McKeown, G. (2014).
Essentialism: The disciplined pursuit of less. Crown Business.
Seiler, R. L. (2013). A study
of time management practices and student success. The Journal of Business &
Economics Research, 11(4), 221-228.
Buehler, R., Griffin, D.,
& Ross, M. (1994). Exploring the "planning fallacy": Why people
underestimate their task completion times. Journal of Personality and Social
Psychology, 67(3), 366-381. https://doi.org/10.1037/0022-3514.67.3.366
Kellogg, R. T. (2013). The
psychology of writing. Oxford University Press.
Locke, E. A., & Latham,
G. P. (2002). Building a practically useful theory of goal setting and task
motivation. American Psychologist, 57(9), 705-717.
https://doi.org/10.1037/0003-066X.57.9.705
Rosen, L. D., Lim, A. F.,
Carrier, L. M., & Cheever, N. A. (2011). An empirical examination of the
educational impact of text message-induced task switching in the classroom.
Computers in Human Behavior, 27(3), 1181-1192. https://doi.org/10.1016/j.chb.2010.12.001
Steel, P. (2007). The nature
of procrastination: A meta-analytic and theoretical review of quintessential
self-regulatory failure. Psychological Bulletin, 133(1), 65-94. https://doi.org/10.1037/0033-2909.133.1.65
Cirillo, F. (2006). The
Pomodoro Technique: The life-changing time-management system. Random House.
Dweck, C. S. (2006). Mindset:
The new psychology of success. Random House.
Lichtman, M. (2014).
Qualitative research in education: A user's guide (3rd ed.). SAGE Publications.
Macan, T. H., Spector, P. E.,
& Parris, D. L. (2009). The influence of time management on job stress.
Journal of Occupational Health Psychology, 14(3), 287-297.
https://doi.org/10.1037/a0015731
Vygotsky, L. S. (1978). Mind
in society: The development of higher psychological processes. Harvard
University Press.
Zeigarnik, B. (1927). On
finished and unfinished tasks. Psychological Research, 9(1), 1-85.
https://doi.org/10.1007/BF02410034
0 komentar:
Posting Komentar