Cara Belajar Yang Baik dan Benar

 




Pendahuluan

Pernah nggak, kamu ngerasa belajar itu kayak beban? Duduk di depan meja, buka buku, tapi pikiran malah ke mana-mana. Rasanya seperti perang batin tiap kali disuruh belajar. Bisa jadi, kamu nggak sendirian, karena banyak banget yang ngalamin hal serupa. Padahal, kalau dipikir-pikir, belajar itu kunci buat banyak hal keren dalam hidup. Mau lulus ujian, masuk universitas impian, dapetin pekerjaan yang keren, atau sekadar ngerti obrolan teman yang bahas sesuatu yang kita nggak paham—semua berawal dari belajar.

 

Tapi, apa sih yang salah? Kenapa belajar terasa kayak “tugas berat” yang seringkali nggak menyenangkan? Nah, di buku ini, kita bakal ngomongin soal gimana caranya belajar itu nggak jadi momok. Bukan cuma belajar dari buku, tapi juga belajar buat ngerti cara otak kita bekerja, apa yang memotivasi kita, dan gimana cara buat bertahan di tengah gangguan digital yang nggak ada habisnya.

 

Di sini, kamu nggak bakal dapet teori berlapis-lapis kayak buku sekolah. Kita bakal ngobrol dari hati ke hati soal cara belajar yang pas buat kamu. Karena, percaya deh, belajar itu bisa jadi pengalaman yang seru kalau kamu tahu caranya. Jadi, kalau kamu udah siap buat ngubah cara pandang tentang belajar, yuk kita mulai perjalanan ini sama-sama!


 


Bab 1: Kenapa Harus Mempraktekkan Belajar Cara Belajar

 

Oke, sebelum kita ngomong lebih jauh soal "cara belajar," mungkin kamu bertanya-tanya: kenapa sih belajar cara belajar itu penting? Nggak bisa langsung belajar aja? Nah, pertanyaan ini wajar banget. Sebenarnya, belajar cara belajar bisa dibilang kayak fondasi buat semua yang mau kita kuasai.

 

1. Efisiensi Waktu

Kita semua punya waktu yang terbatas setiap harinya. Kalau belajar bisa lebih efisien—alias lebih sedikit waktu, tapi hasilnya maksimal—kenapa nggak, kan? Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dunlosky dkk. (2013) menunjukkan bahwa teknik belajar yang tepat, seperti penggunaan "spaced repetition" atau pengulangan berkala, bisa meningkatkan daya ingat dan pemahaman (Dunlosky et al., Psychological Science in the Public Interest). Ini artinya, dengan metode yang pas, kita nggak perlu belajar berjam-jam hanya untuk mengingat sedikit materi. Waktu yang kita hemat bisa kita pakai buat hal-hal lain yang juga penting dalam hidup kita.

 

2. Mengurangi Stres dan Kecemasan

Belajar tanpa teknik yang benar bisa bikin stres. Pernah ngerasa kepala pusing atau lelah banget karena belajar terus-menerus, tapi hasilnya minim? Itu mungkin tanda kalau kita nggak menggunakan metode yang efektif. Menurut sebuah studi di Educational Psychology Review, memahami dan menerapkan teknik belajar yang baik bisa mengurangi kecemasan terkait akademik karena kita tahu cara untuk mempersiapkan diri secara lebih efektif (Artino, 2009).

 

Ketika kita punya strategi yang jelas, belajar jadi nggak menakutkan lagi. Malah, kita bisa lebih tenang dan percaya diri karena punya “senjata” untuk menghadapi materi yang sulit. Cara belajar yang efektif bikin kita nggak perlu lagi panik sebelum ujian atau tugas besar datang.

 

3. Memaksimalkan Potensi Diri

Belajar itu nggak cuma soal nilai di atas kertas, tapi juga soal gimana kita ngembangin diri. Kita semua punya potensi besar yang kadang nggak muncul hanya karena cara belajarnya kurang tepat. Menurut teori Self-Determination dari Deci dan Ryan (2000), kita semua punya kebutuhan akan "autonomy," "competence," dan "relatedness" dalam proses belajar kita. Artinya, semakin kita merasa mampu dan terhubung dengan apa yang kita pelajari, semakin besar pula motivasi kita untuk sukses (Deci & Ryan, 2000, Psychological Inquiry).

 

Jadi, ketika kita ngerti cara belajar yang pas, potensi kita bisa benar-benar muncul. Kita nggak cuma belajar buat ujian atau tugas, tapi buat jangka panjang, buat masa depan yang lebih cerah.

 

4. Adaptif Terhadap Perubahan

Di dunia yang serba cepat ini, metode belajar yang fleksibel dan efektif adalah kunci buat tetap relevan. Kita bakal sering banget ketemu hal-hal baru yang harus kita pelajari, entah di tempat kerja atau dalam kehidupan sehari-hari. Dengan punya “cara belajar” yang udah kita kuasai, kita lebih siap menghadapi apapun yang datang. Seperti yang dikemukakan oleh Gagné dkk., mengembangkan kemampuan belajar adaptif bikin kita lebih mampu untuk terus berkembang sesuai perubahan zaman (Gagné et al., 2005, The Conditions of Learning).


 

Bab 2: Tentukan Tujuan Apa yang Diinginkan

 

Setelah memahami kenapa belajar cara belajar itu penting, langkah berikutnya adalah menentukan tujuan. Tanpa tujuan yang jelas, belajar bisa terasa kosong dan tanpa arah. Banyak yang memulai belajar hanya demi nilai atau tekanan eksternal. Padahal, dengan tujuan yang bermakna, proses belajar akan lebih terarah, lebih fokus, dan jauh lebih memuaskan.

 

1. Menetapkan Tujuan untuk Meningkatkan Motivasi

Penelitian menunjukkan bahwa ketika kita punya tujuan yang spesifik dan menantang, motivasi kita untuk belajar cenderung meningkat. Locke dan Latham (2002), melalui teori Goal Setting, menyatakan bahwa menetapkan tujuan yang jelas dapat membantu meningkatkan kinerja dan komitmen terhadap aktivitas yang dilakukan. Mereka menemukan bahwa tujuan yang konkret dan terukur (contoh: “Saya ingin memahami 10 konsep utama dalam waktu 2 minggu”) cenderung menghasilkan motivasi yang lebih kuat dibandingkan dengan tujuan yang samar (contoh: “Saya ingin belajar lebih baik”) (Locke & Latham, 2002).

 

Dengan tujuan yang spesifik, kita bisa mengukur progres, menilai pencapaian, dan tetap termotivasi bahkan di saat-saat sulit. Setiap langkah kecil menuju tujuan membuat kita merasa punya pencapaian, yang pada akhirnya menambah kepercayaan diri.

 

2. Tujuan yang Selaras dengan Nilai dan Minat Pribadi

Selain spesifik, tujuan yang baik adalah yang relevan dengan minat dan nilai-nilai kita. Menurut Ryan dan Deci (2000), ketika tujuan belajar didasarkan pada kebutuhan intrinsik dan keinginan untuk berkembang, proses belajar akan lebih bermakna dan membawa kepuasan yang lebih mendalam (intrinsic motivation theory). Tujuan ini bukan sekadar untuk memenuhi tuntutan dari luar, melainkan untuk pertumbuhan diri. Misalnya, belajar bahasa asing karena kita tertarik budaya lain atau ingin traveling lebih bebas akan lebih memotivasi daripada sekadar untuk nilai akademik.

 

Tujuan yang selaras dengan minat pribadi juga lebih membantu kita bertahan di masa-masa sulit. Ketika ada tantangan, kita akan lebih mudah mengatasinya karena merasa belajar itu penting bagi diri kita, bukan sekadar kewajiban.


 

 

3. Membedakan Tujuan Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Tujuan belajar idealnya terdiri dari jangka pendek dan jangka panjang. Menurut Robbins dan Judge (2017), tujuan jangka pendek memberikan rasa pencapaian yang cepat, sementara tujuan jangka panjang menjaga kita tetap berada di jalur yang benar (Essentials of Organizational Behavior). Dengan kata lain, kombinasi dari kedua jenis tujuan ini memberikan struktur dan arah yang lebih kuat dalam belajar.

 

Misalnya, dalam satu semester, tujuan jangka pendek mungkin menyelesaikan satu bab setiap minggu, sementara tujuan jangka panjangnya adalah menguasai seluruh mata pelajaran pada akhir semester. Dengan cara ini, setiap kali kita mencapai tujuan kecil, kita merasa semakin dekat dengan tujuan utama.

 

4. Fleksibilitas dalam Tujuan Belajar

Penting untuk fleksibel dalam menetapkan tujuan, karena proses belajar bisa berubah seiring waktu. Kadang, kita mungkin menemui topik yang lebih sulit dari perkiraan atau tertarik pada aspek yang berbeda dari yang awalnya direncanakan. Menurut Bandura (1997), memiliki fleksibilitas dalam mengatur tujuan membantu individu beradaptasi dengan hambatan dan perubahan, dan ini juga meningkatkan ketahanan dalam menghadapi kesulitan (Self-Efficacy: The Exercise of Control). Dengan begitu, tujuan yang fleksibel memungkinkan kita untuk tetap termotivasi walaupun harus menyesuaikan langkah.

Bab 3: Pasang Pola Pikir untuk Maju

 

Saat kita bicara soal belajar, pola pikir memainkan peranan yang sangat besar. Ibaratnya, kalau otak kita adalah “mesin,” maka pola pikir adalah cara kita mengoperasikan mesin itu. Pola pikir yang benar bisa bikin kita lebih termotivasi, lebih tahan banting, dan lebih siap menghadapi tantangan. Di bab ini, kita bakal ngobrolin gimana caranya pasang pola pikir yang bisa mendorong kita terus maju, meskipun jalan terasa sulit.

 

1. Pola Pikir Berkembang vs. Pola Pikir Tetap

Konsep “pola pikir berkembang” (growth mindset) yang diperkenalkan oleh Carol Dweck menjadi salah satu ide paling berpengaruh dalam dunia pendidikan dan pengembangan diri. Dweck (2006) menyatakan bahwa individu dengan pola pikir berkembang percaya bahwa kemampuan mereka dapat meningkat melalui usaha, pembelajaran, dan kegigihan. Sebaliknya, orang dengan pola pikir tetap (fixed mindset) cenderung melihat kemampuan sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah. Pola pikir berkembang membuka pintu bagi belajar yang lebih efektif dan memungkinkan kita untuk melihat tantangan sebagai peluang, bukan ancaman (Dweck, 2006).

 

Ketika kita percaya bahwa kegagalan hanyalah bagian dari proses pembelajaran, kita jadi lebih berani mencoba hal-hal baru. Ini bukan berarti kegagalan nggak menyakitkan, tapi lebih pada bagaimana kita menyikapinya. Dengan pola pikir berkembang, kegagalan bukan akhir segalanya, tapi langkah menuju perbaikan.

 

2. Peran Ketekunan dan Resiliensi

Berpikir maju juga berarti siap untuk gagal dan bangkit kembali. Angela Duckworth (2016) dalam bukunya Grit: The Power of Passion and Perseverance menjelaskan bahwa ketekunan dan gairah untuk jangka panjang lebih berpengaruh terhadap kesuksesan dibandingkan bakat semata. Seringkali, ketika belajar, kita merasa tidak berbakat dalam satu hal, lalu menyerah. Pola pikir yang maju menuntut kita untuk bertahan dan mencoba pendekatan baru ketika menemui jalan buntu.

 

Mengembangkan “grit” ini melibatkan kebiasaan menantang diri sendiri dan terus berusaha meskipun ada hambatan. Kita perlu menghargai proses, bukan hanya hasil akhir. Contohnya, jika ingin jago berbahasa Inggris, konsistensi belajar sedikit demi sedikit setiap hari akan lebih efektif dibandingkan belajar keras hanya sesekali.

 

3. Mengganti Dialog Internal Negatif

Pola pikir yang maju juga terkait dengan bagaimana kita berbicara pada diri sendiri. Dialog internal negatif seperti “aku nggak mampu,” “aku selalu gagal,” atau “ini terlalu sulit buat aku” adalah penghalang besar. Menurut penelitian dari Seligman (1990) tentang learned optimism, mengganti dialog negatif dengan optimisme yang realistis dapat meningkatkan ketahanan dan kinerja individu. Seligman menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu mengubah pikiran pesimis menjadi lebih optimis lebih mampu menghadapi tantangan, termasuk dalam proses belajar (Seligman, 1990).

 

Mengubah dialog internal kita bukan berarti membohongi diri sendiri atau berpura-pura bahwa segalanya mudah. Sebaliknya, kita bisa berkata, “Ini memang sulit, tapi aku bisa mempelajarinya sedikit demi sedikit,” atau, “Aku akan mencoba pendekatan lain jika ini tidak berhasil.” Dengan pola pikir yang maju, hambatan jadi bahan bakar untuk bertumbuh, bukan alasan untuk berhenti.

 

4. Belajar dari Orang Lain

Mencontoh pola pikir dan kebiasaan orang-orang sukses di bidang yang ingin kita kuasai bisa menjadi motivasi besar. Bandura (1977) dalam teorinya tentang social learning menegaskan bahwa kita bisa belajar dengan mengamati perilaku dan pencapaian orang lain. Ketika melihat seseorang berhasil mengatasi kesulitan yang mirip, kita bisa termotivasi untuk terus maju. Selain itu, lingkungan yang mendukung, seperti komunitas belajar atau mentor, juga berperan besar dalam membangun pola pikir yang positif.


 

Bab 4: Bangun Sistem yang Mendukung untuk Belajar

 

Belajar itu seperti perjalanan jauh; kita perlu peta, perlengkapan yang tepat, dan sistem yang bisa membantu kita bertahan sampai tujuan. Sistem belajar yang baik bukan cuma soal jadwal atau metode belajar, tetapi juga mencakup lingkungan, kebiasaan, dan rutinitas yang mendukung. Mari kita bahas bagaimana membangun sistem yang bisa bikin proses belajar lebih lancar, efektif, dan minim hambatan.

 

1. Buat Lingkungan yang Kondusif

Lingkungan belajar memainkan peranan penting dalam seberapa baik kita bisa fokus dan menyerap informasi. Menurut studi yang dilakukan oleh Boekaerts dan Corno (2005), faktor lingkungan, seperti suasana ruang belajar, kebisingan, dan pencahayaan, dapat memengaruhi kemampuan konsentrasi dan motivasi. Lingkungan yang rapi, tenang, dan bebas distraksi membantu kita tetap fokus pada apa yang sedang dipelajari. Jika sulit mendapat ruang belajar khusus, bisa dicoba dengan membuat “zona belajar” kecil di rumah yang bebas dari gangguan seperti ponsel atau televisi.

 

Selain lingkungan fisik, suasana emosional juga penting. Stres atau tekanan berlebih bisa merusak fokus dan menghambat daya ingat. Menjaga kesehatan mental dengan istirahat cukup dan teknik relaksasi, seperti meditasi, dapat membuat proses belajar lebih efektif (Benson, 1975).

 

2. Rutinitas dan Kebiasaan Belajar

Sistem belajar yang mendukung dibangun dari rutinitas yang konsisten. Kebiasaan belajar membantu kita mengurangi kelelahan kognitif karena otak tidak perlu terus-menerus memutuskan kapan dan bagaimana belajar. Dalam bukunya, Atomic Habits, James Clear (2018) menjelaskan bahwa membangun kebiasaan kecil yang berkelanjutan dapat berdampak besar dalam jangka panjang. Misalnya, menjadwalkan waktu belajar yang konsisten setiap hari membantu kita membangun disiplin dan mempermudah otak untuk masuk ke mode “belajar.”

 

Namun, membangun kebiasaan ini butuh waktu dan konsistensi. Memulai dengan kebiasaan kecil seperti belajar 10-15 menit setiap hari bisa lebih efektif daripada mencoba belajar berjam-jam sekaligus di awal. Dengan waktu, kita bisa meningkatkan durasi dan intensitas belajar sesuai kebutuhan.

 

3. Gunakan Alat dan Sumber Daya yang Tepat

Bukan hanya soal kapan dan di mana, tetapi bagaimana kita belajar juga penting. Menggunakan alat yang sesuai dengan gaya belajar bisa meningkatkan efektivitas pembelajaran. Mayer (2005) dalam teorinya tentang Multimedia Learning menunjukkan bahwa kombinasi visual dan verbal bisa membantu kita memahami dan mengingat informasi lebih baik. Misalnya, memanfaatkan mind map, diagram, video edukasi, atau catatan visual bisa mempercepat pemahaman konsep yang sulit.

 

Selain itu, teknologi seperti aplikasi manajemen waktu, catatan digital, atau platform pembelajaran online juga bisa membantu kita tetap terorganisir. Namun, penting untuk tidak membiarkan alat-alat ini menjadi gangguan. Tetap gunakan secara bijak dan sesuai kebutuhan.

 

4. Kelola Waktu dengan Cermat

Manajemen waktu adalah bagian penting dari sistem belajar yang mendukung. Ketika kita memiliki banyak hal yang perlu dipelajari, penting untuk bisa menentukan prioritas. Covey (1989) dalam The 7 Habits of Highly Effective People menyarankan pendekatan “First Things First”—fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dan mendesak. Membagi tugas besar menjadi bagian kecil yang bisa dikelola akan mengurangi stres dan meningkatkan produktivitas.

 

Teknik seperti Pomodoro Technique, di mana kita belajar selama 25 menit dan istirahat selama 5 menit, juga terbukti meningkatkan fokus dan efisiensi belajar (Cirillo, 2006). Dengan manajemen waktu yang baik, kita bisa menghindari kelelahan dan tetap termotivasi.

 

5. Dukungan Sosial

Belajar tidak harus dilakukan sendirian. Dukungan sosial dari teman sebaya, mentor, atau komunitas belajar bisa memberikan motivasi tambahan dan wawasan baru. Bandura (1997) menegaskan bahwa pembelajaran sosial, termasuk belajar dari orang lain, berperan besar dalam membangun kompetensi dan rasa percaya diri.

 

Membentuk kelompok belajar atau bergabung dengan forum diskusi online dapat membantu kita bertukar ide, menyelesaikan masalah yang sulit, dan bahkan merasa lebih termotivasi karena ada orang lain yang berjalan bersama kita.


 

Bab 5: Gunakan Teknik Belajar yang Pas

 

Setiap orang memiliki cara belajar yang berbeda, dan penting untuk menemukan teknik yang sesuai dengan gaya belajar masing-masing. Menggunakan teknik yang tepat tidak hanya meningkatkan pemahaman, tetapi juga membuat proses belajar lebih menyenangkan dan efisien. Di bab ini, kita akan membahas beberapa teknik belajar yang dapat diadaptasi sesuai dengan kebutuhan, sehingga bisa memaksimalkan hasil belajar.

 

1. Active Recall (Pengingatan Aktif)

Salah satu teknik yang paling efektif adalah active recall—mengambil waktu untuk mengingat kembali informasi tanpa melihat catatan. Penelitian yang dilakukan oleh Roediger dan Butler (2011) menunjukkan bahwa teknik ini lebih efektif dibandingkan hanya membaca atau mengulang materi secara pasif. Dengan active recall, otak kita dilatih untuk mengambil informasi dari ingatan jangka panjang, yang memperkuat daya ingat dan pemahaman.

 

Cobalah untuk mengingat informasi yang baru saja dipelajari tanpa melihat materi, dan jika perlu, buat pertanyaan-pertanyaan untuk menjawabnya. Misalnya, setelah membaca bab di buku teks, tutup buku tersebut dan coba jelaskan kembali apa yang telah dipelajari. Teknik ini, meskipun membutuhkan waktu dan usaha, terbukti lebih efektif dalam membantu memori jangka panjang.

 

2. Spaced Repetition (Pengulangan Terpisah)

Teknik spaced repetition atau pengulangan terpisah adalah strategi untuk mengulang materi pada interval yang semakin lama seiring waktu. Teknik ini didasarkan pada prinsip bahwa pengulangan materi pada waktu yang tepat dapat menguatkan ingatan jangka panjang. Ebbinghaus (1885) dalam eksperimennya menemukan bahwa kita cenderung lupa informasi dalam waktu singkat setelah mempelajarinya. Namun, dengan pengulangan yang terjadwal, kita bisa memperlambat proses lupa tersebut.

 

Untuk mempraktikkan teknik ini, coba buat jadwal belajar yang mencakup pengulangan materi beberapa hari setelah pertama kali dipelajari, kemudian semakin lama intervalnya. Misalnya, belajar ulang materi setelah 1 hari, kemudian 3 hari, 7 hari, dan seterusnya. Ini bisa dilakukan dengan bantuan aplikasi spaced repetition seperti Anki atau Quizlet yang mengatur pengulangan materi secara otomatis.

 

3. Mind Mapping (Peta Pikiran)

Mind mapping adalah teknik yang menggunakan diagram untuk menggambarkan hubungan antara berbagai konsep. Dengan teknik ini, kita bisa melihat gambaran besar dari materi yang dipelajari dan bagaimana elemen-elemen tersebut saling terkait. Teknik ini sangat berguna untuk mengorganisir informasi secara visual, memudahkan pemahaman, dan meningkatkan kreativitas.

 

Menurut Buzan (2010), mind mapping dapat mempercepat proses pemahaman karena otak manusia cenderung lebih mudah mengingat informasi yang disusun secara visual dan terstruktur. Peta pikiran bisa digunakan untuk merangkum materi pelajaran, mengorganisir ide dalam menulis, atau bahkan untuk merencanakan proyek.

 

4. Pomodoro Technique

Teknik Pomodoro adalah metode manajemen waktu yang membagi waktu belajar menjadi sesi-sesi pendek, biasanya 25 menit, dengan istirahat singkat di antara sesi tersebut. Teknik ini dapat membantu mempertahankan fokus dan menghindari kelelahan mental. Cirillo (2006), pencipta teknik ini, menyarankan agar kita belajar selama 25 menit, kemudian beristirahat selama 5 menit, dan setelah empat sesi, ambil istirahat lebih panjang, sekitar 15-30 menit.

 

Dengan teknik Pomodoro, kita tidak hanya mengelola waktu belajar dengan lebih efektif, tetapi juga memberi otak kesempatan untuk beristirahat, yang meningkatkan produktivitas dalam jangka panjang. Cobalah menggunakan timer atau aplikasi Pomodoro untuk memantau waktu belajar dan istirahat.

 

5. Interleaving (Pengacakan Materi)

Interleaving adalah teknik belajar dengan menggabungkan berbagai topik atau keterampilan dalam satu sesi belajar. Misalnya, jika kamu sedang belajar matematika, coba untuk mempelajari beberapa konsep atau jenis soal yang berbeda dalam satu waktu. Menurut Bjork dan Bjork (2011), interleaving membantu meningkatkan pemahaman karena otak kita belajar menghubungkan informasi yang berbeda dan membandingkan pola.

 

Walaupun awalnya mungkin terasa sulit, interleaving dapat membantu memperkuat pemahaman kita tentang topik yang lebih kompleks, karena otak dipaksa untuk terus menghubungkan informasi yang baru dipelajari dengan informasi yang sudah ada.

 

6. Self-Explanation (Penjelasan Diri Sendiri)

Teknik ini melibatkan menjelaskan kembali konsep yang baru dipelajari dengan kata-kata sendiri. Self-explanation membantu meningkatkan pemahaman dengan memperdalam hubungan antara informasi baru dan pengetahuan yang sudah ada. Chi, Bassok, Lewis, Reimann, dan Glaser (1989) menunjukkan bahwa siswa yang menggunakan teknik ini cenderung memiliki pemahaman yang lebih dalam dan ingatan yang lebih baik.

 

Cobalah untuk menjelaskan apa yang telah dipelajari kepada diri sendiri atau orang lain setelah mempelajari materi baru. Proses ini membantu memecah informasi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih mudah dipahami.

Bab 6: Wujudkan Kebiasaan yang Baik dan Tinggalkan Kebiasaan yang Bisa Menghambat Kamu untuk Belajar

 

Kebiasaan memiliki kekuatan besar dalam membentuk kualitas hidup kita, termasuk dalam belajar. Kebiasaan yang baik bisa mempercepat proses belajar, sementara kebiasaan yang buruk justru bisa menghambat kemajuan. Di bab ini, kita akan membahas bagaimana membangun kebiasaan yang mendukung proses belajar dan menghindari kebiasaan yang bisa menjadi penghalang.

 

1. Mengidentifikasi Kebiasaan yang Tidak Membantu

Salah satu langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengenali kebiasaan-kebiasaan yang tidak mendukung tujuan belajar kita. Misalnya, sering menunda-nunda pekerjaan atau terlalu sering tergoda untuk membuka media sosial saat belajar. Kebiasaan buruk seperti ini tidak hanya mengganggu fokus, tetapi juga mengurangi waktu belajar yang produktif.

 

Penelitian oleh Steel (2007) menunjukkan bahwa procrastination atau menunda-nunda adalah salah satu kebiasaan yang paling sering menghambat pencapaian tujuan. Orang yang menunda-nunda cenderung merasa cemas dan tertekan, yang akhirnya memperburuk kinerja mereka. Oleh karena itu, langkah pertama adalah mengidentifikasi kebiasaan ini dan mencari cara untuk menguranginya.

 

2. Menggunakan Teknik Habit Stacking untuk Membentuk Kebiasaan Positif

Setelah mengidentifikasi kebiasaan yang tidak mendukung, langkah berikutnya adalah membangun kebiasaan positif. Salah satu teknik yang bisa membantu adalah habit stacking, yaitu menambahkan kebiasaan baru yang baik ke dalam kebiasaan yang sudah ada. Misalnya, jika kamu terbiasa minum kopi setiap pagi, gunakan waktu itu untuk membaca ringkasan materi belajar selama 10-15 menit. Dengan cara ini, kamu menghubungkan kebiasaan positif dengan kebiasaan yang sudah terbentuk dalam rutinitas harianmu.

 

Menurut Fogg (2019), habit stacking bisa sangat efektif karena kita sudah memiliki rutinitas yang stabil dan kebiasaan yang tertanam, sehingga lebih mudah untuk menambahkan kebiasaan baru yang mendukung produktivitas. Cobalah untuk menentukan satu kegiatan kecil yang bisa kamu lakukan setiap hari, seperti membaca selama 10 menit setelah makan siang atau menulis jurnal sebelum tidur, untuk membantu menguatkan kebiasaan belajar yang lebih baik.

 

3. Fokus pada Kebiasaan Proses, Bukan Hasil

Seringkali, kita terlalu fokus pada hasil yang ingin dicapai, seperti mendapatkan nilai sempurna dalam ujian atau menguasai materi dalam waktu singkat. Fokus pada hasil ini bisa menjadi kontraproduktif, karena hal itu justru bisa menyebabkan kita merasa tertekan dan akhirnya menunda-nunda. Sebaliknya, cobalah untuk fokus pada kebiasaan atau proses yang mendukung tujuan tersebut.

 

Penelitian oleh Dweck (2006) tentang mindset menunjukkan bahwa orang yang memiliki mindset berkembang (growth mindset) lebih sukses dalam jangka panjang karena mereka fokus pada usaha dan perbaikan diri, bukan hanya pada hasil akhir. Dengan membangun kebiasaan yang mendukung proses belajar, seperti membaca setiap hari atau mengulang materi setelah belajar, kamu bisa memperbaiki kemampuan belajar secara berkelanjutan tanpa terlalu khawatir tentang hasil jangka pendek.

 

4. Menjaga Keseimbangan antara Belajar dan Istirahat

Kebiasaan yang baik dalam belajar bukan hanya tentang bekerja keras, tetapi juga tentang bekerja cerdas. Salah satu kebiasaan penting yang harus dimiliki adalah menjaga keseimbangan antara belajar dan istirahat. Tubuh dan otak kita memerlukan waktu untuk pulih setelah bekerja keras. Tanpa istirahat yang cukup, proses belajar menjadi kurang efektif, dan kita lebih mudah merasa kelelahan atau stres.

 

Penelitian oleh Mednick et al. (2003) menunjukkan bahwa tidur yang cukup dan istirahat yang teratur sangat penting untuk meningkatkan kemampuan belajar dan daya ingat. Cobalah untuk tidur minimal 7-8 jam setiap malam dan pastikan ada waktu istirahat yang cukup di antara sesi belajar untuk menjaga kinerja otak tetap optimal.

 

5. Menghindari Multitasking

Kebiasaan lain yang sering dianggap positif, tetapi sebenarnya bisa menghambat belajar adalah multitasking. Meskipun kita sering merasa produktif ketika melakukan banyak hal sekaligus, penelitian menunjukkan bahwa multitasking justru bisa menurunkan kualitas kerja dan mempengaruhi konsentrasi. Ditto et al. (2008) menemukan bahwa multitasking dapat menurunkan kemampuan kita untuk memproses informasi dengan efektif.

 

Sebagai gantinya, cobalah untuk fokus pada satu tugas pada satu waktu. Jika kamu belajar, fokuskan perhatianmu hanya pada materi yang sedang dipelajari. Jangan tergoda untuk membuka aplikasi media sosial atau mengecek pesan instan. Dengan cara ini, kamu akan lebih fokus dan hasil belajarmu pun lebih maksimal.


 

Bab 7: Jangan Menyerah (Grit)

 

Salah satu faktor terbesar yang menentukan kesuksesan dalam belajar dan dalam hidup secara umum adalah ketekunan atau yang sering disebut dengan istilah grit. Grit adalah kemampuan untuk tetap berjuang meskipun menghadapi kesulitan atau kegagalan. Di bab ini, kita akan membahas bagaimana pentingnya memiliki grit dalam mencapai tujuan belajar dan bagaimana kita bisa mengembangkan ketekunan ini.

 

1. Apa itu Grit?

Grit adalah kombinasi antara kegigihan dan hasrat yang berkelanjutan terhadap tujuan jangka panjang. Menurut Duckworth (2007), grit adalah kualitas yang jauh lebih penting daripada bakat alami atau kecerdasan untuk mencapai kesuksesan. Hal ini bisa terlihat dari contoh banyak orang yang berhasil meskipun tidak memiliki kemampuan luar biasa, tetapi mereka memiliki ketekunan yang tinggi untuk terus berusaha meskipun menghadapi hambatan.

 

Penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki grit cenderung lebih tahan terhadap kesulitan dan mampu bertahan lebih lama dalam menghadapi kegagalan, berfokus pada tujuan mereka meskipun terkadang hasilnya tidak langsung terlihat. Duckworth (2016) mengungkapkan bahwa grit lebih dapat diprediksi dari pencapaian individu dibandingkan dengan IQ atau kemampuan teknis.

 

2. Grit Lebih Penting dari Bakat

Banyak orang berpikir bahwa untuk berhasil, mereka perlu memiliki bakat atau kemampuan alami dalam bidang tertentu. Namun, penelitian dari Duckworth dan rekan-rekannya (2007) menunjukkan bahwa ketekunan lebih penting daripada bakat dalam meraih pencapaian besar. Seseorang yang memiliki tekad untuk terus berusaha, bahkan ketika menghadapi kegagalan, akan lebih berhasil dalam jangka panjang daripada orang yang hanya mengandalkan bakat atau kecerdasan semata.

 

Duckworth (2016) menjelaskan bahwa bakat saja tidak cukup untuk mencapai tujuan besar. Kunci untuk mengatasi tantangan dan menggapai impian adalah tekad yang kuat untuk terus berusaha, meskipun ada hambatan dan kemunduran. Hal ini sangat relevan dalam konteks belajar, di mana kemajuan tidak selalu linear, dan seringkali dibutuhkan waktu dan usaha ekstra untuk mencapai pemahaman yang mendalam.


 

 

 

3. Mengembangkan Grit dalam Belajar

Bagaimana cara mengembangkan grit dalam proses belajar? Salah satu cara adalah dengan menetapkan tujuan jangka panjang yang jelas dan memecahnya menjadi langkah-langkah kecil yang bisa dikelola. Dengan cara ini, kamu bisa merasakan pencapaian kecil yang memberikan motivasi untuk terus maju, meskipun ada rintangan yang harus dilalui.

 

Selain itu, cobalah untuk mengubah cara pandangmu terhadap kegagalan. Alih-alih melihat kegagalan sebagai hal yang menghalangi, lihatlah itu sebagai peluang untuk belajar dan berkembang. Menurut Carol Dweck (2006), orang yang memiliki growth mindset lebih cenderung untuk bertahan dan mengembangkan grit karena mereka percaya bahwa kemampuan mereka bisa berkembang melalui usaha dan latihan, bukan sesuatu yang tetap.

 

4. Grit dan Resiliensi

Grit juga erat kaitannya dengan resiliensi atau kemampuan untuk bangkit setelah kegagalan. Resiliensi ini bisa diperoleh melalui latihan mental, seperti dengan cara berlatih menerima kegagalan dan belajar darinya. Penelitian menunjukkan bahwa resiliensi yang tinggi berhubungan langsung dengan kemampuan seseorang untuk tetap termotivasi dan fokus meskipun menghadapi kesulitan (Masten, 2001).

 

Seiring berjalannya waktu, melalui latihan yang konsisten, seseorang dapat memperkuat ketahanannya terhadap tekanan dan memperdalam grit mereka. Ini bukan hanya tentang berapa lama seseorang bertahan, tetapi bagaimana mereka merespons kegagalan dan kembali berusaha dengan cara yang lebih bijaksana dan terencana.

 

5. Membangun Kebiasaan Positif yang Mendukung Grit

Kunci untuk mempertahankan grit adalah konsistensi dalam tindakan sehari-hari. Menjaga motivasi tetap tinggi dengan memulai setiap hari dengan kebiasaan positif yang mendukung tujuan jangka panjang sangat penting. Cobalah untuk membuat rutinitas yang memudahkanmu untuk tetap pada jalur meskipun ada banyak gangguan atau rasa lelah.

 

Sebagai contoh, mengatur waktu belajar dengan sesi yang terstruktur dan mengistirahatkan otak di waktu yang tepat bisa membantu menjaga fokus dan ketekunan dalam jangka panjang. Jika kamu merasa kehilangan arah atau motivasi, evaluasi kembali tujuan jangka panjangmu dan ingatkan dirimu tentang alasan mengapa kamu memulai perjalanan ini sejak awal.


Bab 8: Tahu Waktu yang Tepat untuk Berhenti (Quit)

 

Salah satu keterampilan yang sering diabaikan dalam perjalanan menuju kesuksesan adalah kemampuan untuk tahu kapan harus berhenti. Kita semua tahu bahwa kegigihan itu penting, namun tidak semua usaha perlu diteruskan. Di bab ini, kita akan membahas tentang kapan dan bagaimana memutuskan untuk berhenti atau mengubah arah dalam hidup atau belajar, dan mengapa itu bisa menjadi langkah yang sangat cerdas.

 

1. Mengapa Berhenti Itu Penting?

Seringkali kita diajarkan bahwa berhenti itu berarti menyerah. Namun, ada saat-saat dalam hidup di mana berhenti adalah pilihan yang lebih bijaksana daripada terus berjuang tanpa hasil yang jelas. Berhenti bukan berarti gagal, melainkan memilih untuk fokus pada hal yang lebih bermanfaat dan berpotensi memberi hasil lebih besar dalam jangka panjang.

 

Menurut The Dip oleh Seth Godin (2007), ada dua jenis kesulitan yang kita hadapi dalam mencapai tujuan: The Dip dan The Cul-de-Sac. The Dip adalah masa-masa sulit yang penuh tantangan, tetapi dapat diatasi dengan ketekunan, sementara The Cul-de-Sac adalah situasi yang tidak akan membaik meskipun kita berusaha lebih keras. Mengetahui perbedaan antara keduanya dan mengenali kapan kita berada di The Cul-de-Sac adalah kunci untuk mengetahui kapan harus berhenti.

 

2. Kapan Harus Berhenti?

Salah satu alasan utama untuk berhenti adalah ketika upaya kita tidak lagi sebanding dengan hasil yang didapat. Ada kalanya kita terjebak dalam usaha yang berulang-ulang tanpa adanya kemajuan yang signifikan. Dalam hal ini, berhenti dan mencari jalur alternatif bisa jadi langkah yang lebih produktif.

 

Di dunia profesional atau pendidikan, berhenti bisa berarti mengalihkan perhatian dari sesuatu yang tidak lagi memberikan hasil yang sebanding dengan investasi waktu dan energi. Bahkan, peneliti Michael McCullough (2011) dalam studi tentang keputusan berhenti, menyatakan bahwa mengetahui kapan harus berhenti dapat menghindarkan kita dari penderitaan yang tidak perlu dan memungkinkan kita untuk memfokuskan energi pada tujuan yang lebih realistis.

 

Godin (2007) menekankan bahwa berhenti bisa menjadi keputusan strategis yang membantu kita untuk menghindari The Cul-de-Sac dan mengalihkan sumber daya kita pada proyek yang lebih menjanjikan dan berpotensi lebih berhasil. Berhenti berarti memberi ruang bagi peluang yang lebih baik, yang mungkin lebih sejalan dengan tujuan kita.

 

3. Berhenti dengan Bijak

Berhenti bukan hanya soal meninggalkan sesuatu yang tidak berfungsi, tetapi juga soal memahami kapan beralih ke sesuatu yang lebih menguntungkan atau lebih sesuai dengan tujuan hidup kita. Misalnya, dalam konteks belajar, terkadang kita harus berhenti pada metode yang tidak efektif dan mencari cara belajar yang lebih sesuai dengan gaya kita.

 

Salah satu cara untuk mengenali waktu yang tepat untuk berhenti adalah dengan melakukan refleksi diri secara berkala. Menanyakan diri kita apakah usaha yang sedang dilakukan memberikan dampak positif atau hanya menguras energi tanpa hasil yang jelas adalah langkah pertama yang penting.

 

4. Berhenti Sebagai Langkah Cerdas

Penelitian menunjukkan bahwa berhenti dapat menjadi langkah yang sangat cerdas ketika diambil secara tepat. Misalnya, penelitian oleh Kahneman dan Tversky (1979) dalam teori prospect theory menyatakan bahwa kita sering kali merasa terjebak dalam keputusan yang merugikan karena kita enggan untuk melepaskan sesuatu yang telah kita investasikan, meskipun itu tidak lagi memberikan hasil yang baik. Dalam hal ini, berhenti bisa menjadi solusi yang lebih rasional dan menguntungkan.

 

Jika kita dapat mengakui saat-saat ketika kita berada di jalan buntu dan berani untuk mengambil keputusan berhenti, kita bisa menghemat waktu dan energi untuk berfokus pada hal-hal yang benar-benar bermanfaat. Ini juga merupakan bagian dari kemampuan untuk mengelola harapan dan emosi kita dalam mencapai tujuan.

 

5. Mengubah Perspektif terhadap Berhenti

Masyarakat seringkali menganggap berhenti sebagai kekalahan, padahal berhenti bisa menjadi langkah strategis untuk mengalihkan fokus kepada hal-hal yang lebih bermanfaat. Seperti yang dijelaskan oleh Angela Duckworth (2016), ketekunan (grit) bukan hanya tentang terus berusaha tanpa henti, tetapi juga tentang memiliki kebijaksanaan untuk tahu kapan harus berhenti dan fokus pada hal yang lebih bernilai.

 

Belajar untuk mengenali tanda-tanda bahwa saatnya berhenti dan mengevaluasi ulang tujuan serta metode yang kita gunakan adalah bagian dari pengembangan diri yang penting. Dalam dunia pendidikan, ini berarti mengubah pendekatan belajar atau memilih kembali tujuan yang lebih relevan dan memotivasi.


 

Bab 9: Menata Lingkungan Belajar

 

Lingkungan belajar memainkan peran yang sangat besar dalam mempengaruhi bagaimana kita belajar. Tidak hanya sekadar ruang fisik, tetapi juga atmosfer, suasana hati, dan bahkan hubungan sosial yang ada di sekitar kita. Di bab ini, kita akan membahas pentingnya menata lingkungan belajar agar lebih kondusif untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas belajar.

 

1. Pengaruh Lingkungan terhadap Proses Belajar

Lingkungan belajar yang baik tidak hanya mendukung konsentrasi, tetapi juga mempengaruhi motivasi dan energi kita saat belajar. Penelitian menunjukkan bahwa lingkungan yang terorganisir, tenang, dan bebas dari gangguan dapat meningkatkan kemampuan kita untuk fokus, memahami materi, dan mencapai tujuan akademik (Raudenbush et al., 2011). Lingkungan yang tepat akan memberikan stimulus positif yang dapat meningkatkan pembelajaran secara signifikan.

 

Selain itu, menurut Vygotsky (1978), lingkungan sosial juga berperan penting dalam proses belajar. Interaksi dengan teman sekelas atau pendamping belajar dapat membantu membangun pemahaman yang lebih dalam melalui diskusi dan berbagi pengetahuan. Oleh karena itu, menciptakan ruang yang mendukung interaksi positif dan kolaborasi juga menjadi bagian dari menata lingkungan belajar yang efektif.

 

2. Menata Ruang Fisik untuk Mendukung Belajar

Ruang fisik yang nyaman sangat penting dalam meningkatkan konsentrasi. Berdasarkan penelitian oleh Cohen (2006), faktor seperti pencahayaan yang baik, ventilasi yang cukup, serta kebersihan dan kerapihan ruang dapat membantu mengurangi stres dan meningkatkan efisiensi belajar. Sebagai contoh, pencahayaan alami diketahui dapat meningkatkan mood dan menjaga energi, sedangkan suhu yang nyaman dapat meningkatkan kemampuan fokus.

 

Selain itu, penataan meja dan tempat duduk juga mempengaruhi tingkat kenyamanan dan produktivitas. Sebuah penelitian oleh Barrett et al. (2015) menunjukkan bahwa pengaturan meja dan kursi yang ergonomis dapat mengurangi ketegangan fisik dan meningkatkan daya tahan mental dalam belajar. Meja yang teratur dan bebas dari gangguan akan memudahkan kita dalam mengakses buku atau bahan belajar lain yang diperlukan.

 

3. Menciptakan Suasana yang Tenang dan Bebas Gangguan

Suasana yang bebas gangguan sangat penting untuk menjaga konsentrasi. Penelitian menunjukkan bahwa gangguan dari suara bising atau visual dapat mengurangi kemampuan untuk fokus dan memperlambat proses belajar (Linder et al., 2016). Jika kamu belajar di rumah atau di tempat umum, cobalah untuk mengurangi gangguan dengan menggunakan headphones atau memilih tempat yang tenang.

 

Selain itu, penggunaan teknologi juga harus dipertimbangkan dengan bijak. Meskipun alat digital memberikan banyak manfaat, terlalu banyak aplikasi atau pemberitahuan dari media sosial dapat mengalihkan perhatian kita. Oleh karena itu, penting untuk menata perangkat digital dengan cara yang mendukung produktivitas belajar, misalnya dengan mematikan notifikasi atau menggunakan aplikasi untuk manajemen waktu.

 

4. Lingkungan Sosial dan Dukungan Emosional

Tidak hanya ruang fisik, tetapi juga hubungan sosial yang ada di lingkungan belajar dapat mempengaruhi kualitas belajar. Menurut Bandura (1997), dukungan sosial memiliki peran penting dalam memotivasi individu untuk terus belajar. Berinteraksi dengan teman belajar, berdiskusi dengan pengajar, atau mendapatkan umpan balik yang konstruktif dapat meningkatkan rasa percaya diri dan memperdalam pemahaman.

 

Menciptakan lingkungan sosial yang mendukung berarti menciptakan hubungan yang positif dengan orang-orang di sekitar kita. Ini termasuk mencari teman belajar yang dapat saling memberikan motivasi, atau bahkan bergabung dalam kelompok belajar. Kolaborasi ini tidak hanya meningkatkan pengetahuan kita, tetapi juga mengurangi stres dan kecemasan yang sering muncul selama proses belajar.

 

5. Lingkungan Digital: Belajar di Era Teknologi

Di era digital, lingkungan belajar tidak lagi terbatas pada ruang fisik saja, melainkan juga mencakup ruang maya. Platform pembelajaran online dan sumber daya digital dapat menyediakan akses mudah ke berbagai informasi dan alat bantu belajar yang diperlukan. Namun, untuk menjaga produktivitas, penting untuk menata penggunaan teknologi ini dengan bijak.

 

Menurut Siemens (2005), pembelajaran di dunia maya atau e-learning memungkinkan kita untuk belajar lebih fleksibel, tetapi juga menuntut disiplin diri yang lebih tinggi. Pembelajaran digital yang efektif memerlukan pengaturan yang baik, seperti jadwal yang jelas, pengelolaan waktu yang ketat, serta pemilihan sumber daya yang tepat dan relevan dengan topik yang sedang dipelajari.

 


 

Bab 10: Manajemen Waktu

 

Manajemen waktu adalah keterampilan yang sangat penting dalam belajar. Tanpa kemampuan untuk mengatur waktu dengan efektif, kamu bisa merasa terjebak dalam tumpukan tugas dan merasa kewalahan. Di bab ini, kita akan membahas bagaimana cara mengelola waktu dengan bijak agar dapat belajar dengan lebih produktif dan efisien.

 

1. Mengapa Manajemen Waktu Itu Penting?

Manajemen waktu yang baik tidak hanya membantu kita untuk menyelesaikan tugas tepat waktu, tetapi juga mengurangi stres dan meningkatkan kualitas hidup. Covey (2004) dalam bukunya yang terkenal, The 7 Habits of Highly Effective People, menekankan pentingnya mengelola waktu berdasarkan prioritas. Dengan memahami apa yang benar-benar penting, kita bisa fokus pada hal-hal yang membawa kita lebih dekat ke tujuan kita, daripada hanya sibuk dengan tugas yang tidak membawa kemajuan.

 

Penelitian oleh Macan (1994) juga menunjukkan bahwa manajemen waktu yang buruk dapat berhubungan dengan stres yang lebih tinggi, kurangnya motivasi, dan bahkan penurunan kinerja akademik. Mengatur waktu dengan baik memberi kita ruang untuk merencanakan aktivitas belajar dengan lebih terstruktur dan menghindari penundaan yang sering menghambat pencapaian tujuan.

 

2. Menetapkan Tujuan dan Prioritas

Langkah pertama dalam manajemen waktu adalah mengetahui apa yang ingin dicapai. Menetapkan tujuan yang jelas dan terukur adalah kunci untuk mengarahkan energi dan waktu kita ke hal-hal yang paling penting. Sebuah studi oleh Locke & Latham (2002) menunjukkan bahwa menetapkan tujuan yang spesifik dan menantang dapat meningkatkan kinerja secara signifikan.

 

Setelah tujuan ditetapkan, langkah berikutnya adalah memprioritaskan tugas. Tidak semua tugas memiliki tingkat kepentingan yang sama. Menggunakan matriks prioritas seperti yang diajarkan oleh Eisenhower (1954) dapat membantu kita memisahkan tugas yang mendesak dan penting, dari yang hanya sekadar mendesak atau penting. Dengan cara ini, kita bisa fokus pada hal-hal yang benar-benar membawa kemajuan dalam belajar.

 

3. Membuat Rencana dan Jadwal

Rencana yang baik dimulai dengan penjadwalan. Dengan membuat jadwal, kita dapat melihat dengan jelas waktu yang tersedia untuk belajar dan kapan waktu istirahat. Menurut Seiler (2013), penjadwalan yang tepat membantu meningkatkan efisiensi belajar dan mencegah pemborosan waktu. Teknik seperti time blocking atau penggunaan aplikasi pengatur waktu dapat membantu kita tetap terfokus dan menghindari prokrastinasi.

 

Sebagai contoh, jika kamu punya banyak tugas dan ujian yang harus diselesaikan, buatlah jadwal belajar dengan waktu yang terstruktur. Tentukan waktu untuk setiap tugas dan berikan waktu istirahat yang cukup di antara sesi belajar. Jadwal ini akan menjadi peta jalan untuk memandu kamu agar tidak terburu-buru pada akhir tenggat waktu.

 

4. Menghindari Prokrastinasi

Salah satu tantangan terbesar dalam manajemen waktu adalah prokrastinasi. Banyak dari kita cenderung menunda-nunda tugas, meskipun tahu bahwa hal tersebut akan menambah beban di kemudian hari. Prokrastinasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti rasa takut gagal, kurangnya motivasi, atau bahkan karena merasa tugas itu terlalu sulit (Steel, 2007).

 

Namun, ada banyak strategi yang dapat membantu kita mengatasi prokrastinasi. Teknik seperti Pomodoro Technique, yang melibatkan periode kerja selama 25 menit diikuti dengan istirahat 5 menit, terbukti efektif dalam meningkatkan fokus dan produktivitas (Cirillo, 2006). Dengan cara ini, kita bisa memecah tugas besar menjadi bagian yang lebih kecil dan lebih mudah dikelola, serta menjaga agar waktu kita tetap terfokus pada hal-hal yang lebih penting.

 

5. Mengelola Gangguan

Gangguan adalah musuh utama manajemen waktu yang baik. Menurut Mark, Gudith, & Klocke (2008), gangguan dari perangkat elektronik, seperti ponsel dan media sosial, dapat mengurangi waktu fokus belajar hingga 40%. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan lingkungan yang bebas gangguan saat belajar. Matikan notifikasi, singkirkan ponsel dari meja, atau gunakan aplikasi penghalang gangguan untuk menjaga konsentrasi selama belajar.

 

Mengelola gangguan juga berarti belajar untuk mengatakan "tidak" pada aktivitas yang tidak penting. Jika kamu sudah memiliki jadwal yang jelas, lebih mudah untuk menilai apakah suatu kegiatan benar-benar relevan dengan tujuan belajar kamu atau hanya sekadar pemborosan waktu.

 

6. Mengukur Kemajuan dan Menyesuaikan Rencana

Terakhir, untuk memastikan manajemen waktu berjalan efektif, kamu perlu mengevaluasi kemajuan secara rutin. Jika ada bagian dalam rencana yang tidak berhasil, jangan takut untuk menyesuaikannya. Seperti yang dikatakan oleh Gollwitzer (1999), menetapkan niat yang jelas dan mengubah strategi ketika dibutuhkan adalah kunci untuk tetap produktif dalam jangka panjang. Evaluasi diri secara berkala akan membantu kamu tetap berada di jalur yang benar dan memperbaiki area yang masih perlu peningkatan.


 

Bab 11: Kiat-Kiat Mengatur Waktu

 

Mengatur waktu adalah keterampilan yang terus berkembang dan memerlukan usaha yang konsisten. Di bab ini, kita akan membahas kiat-kiat praktis untuk mengatur waktu dengan lebih baik, yang bisa langsung diterapkan dalam rutinitas harianmu.

 

1. Tentukan Prioritas dengan Matriks Prioritas

Salah satu cara paling efektif untuk mengatur waktu adalah dengan memprioritaskan tugas. Sebagai contoh, Eisenhower (1954) menciptakan matriks prioritas yang membagi tugas menjadi empat kategori: penting dan mendesak, penting tapi tidak mendesak, tidak penting tapi mendesak, serta tidak penting dan tidak mendesak. Dengan cara ini, kamu bisa fokus pada tugas yang benar-benar mendukung tujuanmu dan menghindari pemborosan waktu pada hal-hal yang kurang penting.

 

Penggunaan matriks prioritas akan membuat kamu lebih sadar akan tugas-tugas yang membutuhkan perhatian segera dan yang dapat ditunda. Misalnya, jika kamu sedang belajar untuk ujian, mengerjakan soal latihan (penting dan mendesak) harus menjadi prioritas utama, sementara sekedar memeriksa media sosial (tidak penting dan tidak mendesak) bisa dihindari.

 

2. Gunakan Teknik Time Blocking

Time blocking adalah teknik di mana kamu membagi waktu untuk tugas tertentu dalam waktu blok yang sudah ditentukan sebelumnya. Seiler (2013) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa teknik ini sangat membantu dalam mengurangi rasa tertekan dan meningkatkan produktivitas. Dengan memblok waktu untuk tugas tertentu, kamu bisa lebih fokus dan menghindari multitasking yang justru mengurangi efisiensi.

 

Contohnya, kamu bisa memblok waktu dari jam 9 pagi hingga 11 pagi hanya untuk belajar matematika, kemudian jam 11 pagi hingga 12 siang untuk belajar bahasa Inggris. Dengan cara ini, kamu tahu pasti kapan waktu untuk fokus dan kapan waktu untuk istirahat.

 

3. Jangan Takut untuk Mengatakan "Tidak"

Seringkali kita merasa terjebak dalam situasi di mana kita terlalu banyak menerima permintaan atau tanggung jawab, yang akhirnya membuat kita kehabisan waktu. Menurut McKeown (2014), belajar untuk mengatakan "tidak" pada permintaan yang tidak mendukung tujuanmu adalah bagian dari manajemen waktu yang efektif. Dengan menetapkan batasan, kamu memberi ruang bagi prioritas yang lebih penting.

 

Misalnya, jika temanmu mengundangmu untuk nongkrong sementara kamu masih harus menyelesaikan tugas, katakan "tidak" dengan alasan bahwa kamu sedang fokus menyelesaikan pekerjaan penting. Menolak untuk melakukan hal-hal yang tidak penting memungkinkan kamu untuk menjaga fokus pada apa yang benar-benar harus dikerjakan.

 

4. Menggunakan Teknologi untuk Membantu

Teknologi dapat menjadi teman terbaikmu dalam mengatur waktu. Aplikasi seperti Trello atau Asana memungkinkan kamu untuk membuat daftar tugas yang jelas dan melacak progres setiap pekerjaan. Macan (1994) menemukan bahwa penggunaan alat bantu seperti aplikasi pengatur tugas dapat meningkatkan efisiensi dan membantu pengguna tetap terorganisir.

 

Jika kamu sering merasa kebingungan dengan banyaknya tugas, cobalah menggunakan aplikasi ini untuk mengatur dan merencanakan tugas harian atau mingguan. Dengan cara ini, kamu bisa menghindari rasa bingung yang bisa menyebabkan stres dan prokrastinasi.

 

5. Gunakan Teknik Pomodoro

Teknik Pomodoro adalah metode yang mengharuskan kamu bekerja dengan fokus selama 25 menit, kemudian istirahat 5 menit. Cirillo (2006) menciptakan teknik ini untuk menghindari kelelahan mental saat belajar atau bekerja dalam waktu lama. Teknik ini terbukti efektif dalam menjaga fokus dan meningkatkan produktivitas.

 

Kamu bisa mencoba mengatur timer selama 25 menit untuk belajar, lalu beristirahat selama 5 menit. Setelah empat sesi Pomodoro, kamu bisa mengambil istirahat lebih panjang selama 15-30 menit. Dengan teknik ini, waktu belajar terasa lebih terstruktur dan tidak membosankan.

 

6. Evaluasi dan Refleksi

Setelah mengikuti beberapa kiat di atas, sangat penting untuk selalu melakukan evaluasi atas manajemen waktumu. Seperti yang dijelaskan oleh Gollwitzer (1999), refleksi diri setelah menyelesaikan tugas memungkinkan kamu untuk menilai apakah strategi yang digunakan efektif atau perlu diperbaiki.

 

Jika kamu merasa ada area yang kurang optimal, coba sesuaikan pendekatanmu. Misalnya, jika kamu merasa teknik time blocking kurang efektif, mungkin kamu perlu menyesuaikan waktu yang diberikan untuk setiap tugas atau mencari teknik lain yang lebih sesuai dengan gaya belajarmu.


 

Bab 12: Selalu Tahu Tugas Sehari-Hari

 

Salah satu kunci penting dalam belajar adalah selalu mengetahui tugas yang harus dikerjakan setiap hari. Ketika kita memiliki pemahaman yang jelas tentang apa yang harus dilakukan, kita bisa merencanakan hari dengan lebih efektif dan menghindari kecemasan yang disebabkan oleh tugas yang menumpuk. Di bab ini, kita akan membahas pentingnya mengetahui tugas sehari-hari dan cara mengelola daftar tugas untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi stres.

 

1. Menggunakan Daftar Tugas (To-Do List)

Daftar tugas adalah alat klasik yang masih sangat efektif digunakan hingga saat ini. Kellogg (2013) menemukan bahwa membuat daftar tugas dapat membantu meningkatkan pengelolaan waktu dan mengurangi beban mental. Ketika kamu tahu dengan jelas apa yang perlu dilakukan, rasa cemas tentang pekerjaan yang belum selesai bisa berkurang.

 

Mulailah dengan menulis semua tugas yang perlu diselesaikan di hari itu. Prioritaskan tugas yang lebih penting dan mendesak. Jika ada tugas besar yang sulit untuk dikerjakan sekaligus, bagi tugas tersebut menjadi beberapa bagian kecil yang lebih mudah dikelola. Dengan cara ini, kamu dapat merasakan kemajuan meskipun sedikit demi sedikit.

 

2. Atur Waktu untuk Setiap Tugas

Tugas sehari-hari tidak hanya perlu dicatat, tetapi juga perlu diperkirakan waktunya. Salah satu cara yang efektif untuk mengetahui berapa lama sebuah tugas akan berlangsung adalah dengan membuat estimasi waktu untuk setiap aktivitas. Buehler, Griffin, & Ross (1994) dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa memperkirakan waktu dengan tepat dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa kontrol terhadap pekerjaan.

 

Jika kamu tahu bahwa sebuah tugas akan memakan waktu satu jam, kamu bisa menentukan waktu tertentu dalam hari itu untuk menyelesaikannya. Misalnya, dari pukul 10 pagi hingga 11 pagi, kamu bisa fokus mengerjakan tugas yang paling mendesak. Jangan lupa untuk memberikan waktu istirahat setelah menyelesaikan setiap tugas, agar otak tetap segar dan siap untuk tugas berikutnya.


 

3. Teknologi untuk Membantu Pengelolaan Tugas

Di era digital seperti sekarang, teknologi dapat sangat membantu dalam melacak dan mengingatkan kita akan tugas sehari-hari. Aplikasi seperti Todoist atau Microsoft To-Do memungkinkan kita untuk membuat daftar tugas yang dapat dipantau dengan mudah di berbagai perangkat. Rosen, Lim, Carrier, & Cheever (2011) menyatakan bahwa penggunaan aplikasi pengelola tugas dapat meningkatkan efisiensi dan mengurangi risiko terlambat menyelesaikan pekerjaan.

 

Aplikasi-aplikasi ini juga menyediakan fitur pengingat yang memungkinkan kita untuk tetap disiplin dalam menyelesaikan tugas. Kamu bisa mengatur pengingat untuk setiap tugas yang sudah diprioritaskan, dan aplikasi akan memberitahumu ketika saatnya untuk mulai mengerjakannya.

 

4. Melakukan Review Tugas Harian

Melakukan review atau tinjauan harian terhadap daftar tugas sangat penting untuk memastikan bahwa kamu berada di jalur yang benar. Locke & Latham (2002) mengungkapkan bahwa evaluasi terhadap tugas yang telah dilakukan dapat meningkatkan komitmen terhadap tujuan dan membantu menentukan langkah-langkah berikutnya yang perlu diambil.

 

Setiap malam, luangkan beberapa menit untuk meninjau daftar tugas yang sudah selesai dan tentukan apa yang perlu dikerjakan keesokan harinya. Hal ini tidak hanya memberikan rasa pencapaian tetapi juga membantu kamu untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan esok hari.

 

5. Hindari Prokrastinasi

Prokrastinasi atau menunda-nunda pekerjaan sering kali menjadi penghalang terbesar dalam menyelesaikan tugas sehari-hari. Steel (2007) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa prokrastinasi dapat disebabkan oleh rasa takut gagal, kebosanan, atau kurangnya motivasi. Untuk menghindari prokrastinasi, kamu bisa memulai dengan tugas yang paling mudah atau yang paling menarik. Melakukan sedikit pekerjaan dapat memberikan dorongan motivasi untuk menyelesaikan tugas yang lebih besar.

 

Jika kamu merasa terhambat oleh tugas yang terasa membosankan, coba bagi tugas tersebut menjadi bagian yang lebih kecil dan lebih mudah dikelola. Begitu kamu mulai, kamu akan merasa lebih mudah untuk melanjutkan.


 

Bab 13: Mengatasi Masalah dalam Mengerjakan PR atau Tugas

 

Mengerjakan tugas atau PR bisa menjadi momok bagi sebagian besar pelajar. Banyak siswa yang sering merasa terjebak dengan beban tugas yang menumpuk, deadline yang mendekat, atau bahkan kebingungan dalam memahami instruksi yang diberikan. Di bab ini, kita akan membahas beberapa cara untuk mengatasi masalah yang sering muncul saat mengerjakan PR atau tugas, serta memberikan solusi untuk menghadapinya dengan lebih efisien dan efektif.

 

1. Identifikasi Masalah yang Muncul

Langkah pertama dalam mengatasi masalah dalam mengerjakan tugas adalah dengan mengidentifikasi sumber masalah itu sendiri. Terkadang, kita merasa kesulitan bukan karena tugas itu sulit, tetapi karena kita merasa tidak siap atau tidak tahu harus mulai dari mana. Lichtman (2014) menyatakan bahwa mengidentifikasi hambatan-hambatan yang ada bisa membantu kita mengatasi perasaan cemas atau stres yang sering muncul.

 

Misalnya, jika kamu merasa tidak paham dengan materi yang diajarkan, itu bisa menjadi hambatan utama dalam menyelesaikan tugas. Jika demikian, kamu perlu meluangkan waktu untuk membaca ulang materi atau mencari sumber tambahan untuk memahami topik tersebut.

 

2. Pecah Tugas Menjadi Bagian yang Lebih Kecil

Seringkali, tugas yang besar dan kompleks bisa terasa mengintimidasi. Tugas yang terlalu besar bisa membuat kita merasa kewalahan, dan akibatnya kita cenderung menunda-nunda atau bahkan tidak menyentuhnya sama sekali. Zeigarnik (1927) dalam teorinya menyebutkan bahwa tugas yang belum selesai sering kali tertanam dalam pikiran kita dan menambah beban mental. Untuk mengatasi ini, cara terbaik adalah dengan memecah tugas menjadi bagian yang lebih kecil dan lebih mudah dikelola.

 

Misalnya, jika kamu diberi tugas untuk menulis makalah, bagi makalah tersebut menjadi beberapa bagian seperti membuat outline, menulis pendahuluan, mengumpulkan referensi, dan menyusun kesimpulan. Setiap kali menyelesaikan satu bagian kecil, kamu akan merasa lebih dekat dengan penyelesaian tugas secara keseluruhan.

 

3. Atasi Rasa Tidak Punya Waktu

Masalah umum lain yang sering dihadapi siswa adalah kekurangan waktu. Tugas sering kali menumpuk, dan kita merasa tidak punya waktu untuk mengerjakan semuanya. Macan, Spector, & Parris (2009) menemukan bahwa perasaan kekurangan waktu adalah salah satu faktor terbesar yang menyebabkan stres dan penurunan produktivitas.

 

Untuk mengatasi masalah ini, kamu perlu mengatur waktu dengan bijak. Buat jadwal harian atau mingguan yang mencakup waktu untuk belajar, mengerjakan tugas, serta istirahat. Cobalah untuk menghindari kebiasaan menunda-nunda tugas dan lebih disiplin dalam mengikuti jadwal yang telah dibuat.

 

4. Gunakan Teknik Pomodoro

Jika kamu merasa sulit untuk fokus dalam waktu yang lama, coba gunakan teknik Pomodoro. Teknik ini mengharuskan kamu untuk bekerja fokus selama 25 menit, kemudian istirahat selama 5 menit. Cirillo (2006), pencipta teknik Pomodoro, menyatakan bahwa dengan bekerja dalam interval waktu yang lebih singkat, kita bisa lebih produktif dan menghindari rasa lelah yang cepat. Setelah empat sesi Pomodoro, kamu bisa mengambil istirahat lebih panjang selama 15-30 menit.

 

Dengan menggunakan teknik Pomodoro, kamu bisa menghindari perasaan terjebak dalam tugas yang terasa sangat berat, serta memberikan waktu bagi pikiran untuk beristirahat sebelum kembali fokus.

 

5. Cari Bantuan Jika Diperlukan

Terkadang, kita merasa tidak tahu harus mulai dari mana atau bagaimana cara menyelesaikan tugas dengan benar. Jika sudah demikian, jangan ragu untuk mencari bantuan. Baik itu teman, guru, atau sumber-sumber online, mencari perspektif lain bisa memberikan pemahaman baru yang bisa membantu kamu menyelesaikan tugas dengan lebih mudah.

 

Vygotsky (1978) dalam teori pembelajaran sosialnya menyatakan bahwa interaksi sosial sangat penting dalam proses pembelajaran. Belajar dari orang lain atau mendapatkan bantuan bisa membantu kita mengatasi hambatan dalam menyelesaikan tugas.


 

6. Jangan Takut untuk Melakukan Kesalahan

Tak jarang, rasa takut gagal atau membuat kesalahan menjadi penghalang dalam menyelesaikan tugas. Padahal, kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Dweck (2006) dalam teori growth mindsetnya menjelaskan bahwa orang yang memiliki pola pikir berkembang tidak melihat kegagalan sebagai akhir, tetapi sebagai kesempatan untuk belajar dan tumbuh.

 

Jadi, jika kamu membuat kesalahan saat mengerjakan tugas, anggap saja sebagai bagian dari proses. Jangan biarkan rasa takut membuatmu berhenti. Sebaliknya, gunakan kesalahan itu untuk belajar dan memperbaiki diri.


 

Penutup

Akhirnya, kita sampai di bagian penutup dari perjalanan kita dalam memahami cara belajar yang efektif. Melalui tulisan ini, kita telah membahas berbagai hal yang penting untuk mempersiapkan diri kita agar bisa belajar dengan cara yang lebih cerdas dan menyenangkan. Belajar bukan hanya soal menghafal informasi, tetapi tentang bagaimana kita menyerap pengetahuan, mengaplikasikannya dalam kehidupan, dan terus berkembang.

 

Setiap orang memiliki cara belajar yang berbeda-beda, dan itu adalah hal yang wajar. Namun, dengan menggunakan prinsip-prinsip yang sudah dibahas dalam tulisan ini, kita bisa menemukan metode yang paling cocok untuk diri kita sendiri. Mulai dari menentukan tujuan belajar yang jelas, memiliki pola pikir yang terbuka, hingga memanfaatkan teknik belajar yang sesuai, semua itu akan membawa kita menuju keberhasilan yang lebih besar.

 

Yang perlu diingat adalah, belajar itu adalah proses yang terus-menerus. Tidak ada yang instan dalam belajar. Terkadang, kita mungkin merasa frustasi atau kelelahan, tapi percayalah, setiap langkah yang kita ambil, sekecil apapun itu, akan membawa kita lebih dekat ke tujuan kita. Jadi, jangan takut untuk mencoba hal baru, beradaptasi, dan menemukan cara yang paling efektif untuk diri sendiri.

 

Semoga tulisan ini memberi inspirasi dan membantu kamu untuk menjadi lebih baik dalam belajar, serta membuka jalan menuju pencapaian yang lebih tinggi dalam hidup. Ingatlah, yang terpenting bukanlah seberapa cepat kita belajar, tetapi seberapa konsisten dan sabarnya kita dalam menjalani proses belajar itu. Teruslah belajar dan jangan pernah berhenti berusaha, karena setiap proses belajar adalah langkah menuju versi terbaik dari diri kita.


 


 


 

Daftar Pustaka

 

Artino, A. R. (2009). Self-regulated learning: Issues and challenges for instructional design. Educational Psychology Review, 21(1), 23-37. https://doi.org/10.1007/s10648-008-9090-7

Deci, E. L., & Ryan, R. M. (2000). The “what” and “why” of goal pursuits: Human needs and the self-determination of behavior. Psychological Inquiry, 11(4), 227-268. https://doi.org/10.1207/S15327965PLI1104_01

Dunlosky, J., Rawson, K. A., Marsh, E. J., Nathan, M. J., & Willingham, D. T. (2013). Improving students’ learning with effective learning techniques: Promising directions from cognitive and educational psychology. Psychological Science in the Public Interest, 14(1), 4-58. https://doi.org/10.1177/1529100612453266

Gagné, R. M., Wager, W. W., Golas, K. C., & Keller, J. M. (2005). Principles of instructional design (5th ed.). Wadsworth/Thomson Learning.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York, NY: W. H. Freeman.

Locke, E. A., & Latham, G. P. (2002). Building a practically useful theory of goal setting and task motivation: A 35-year odyssey. American Psychologist, 57(9), 705-717. https://doi.org/10.1037/0003-066X.57.9.705

Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2017). Essentials of organizational behavior (14th ed.). Pearson.

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of intrinsic motivation, social development, and well-being. American Psychologist, 55(1), 68-78. https://doi.org/10.1037/0003-066X.55.1.68

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Prentice-Hall.

Duckworth, A. (2016). Grit: The power of passion and perseverance. Scribner.

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The new psychology of success. Random House.

Seligman, M. E. P. (1990). Learned optimism: How to change your mind and your life. Pocket Books.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. New York, NY: W. H. Freeman.

Benson, H. (1975). The relaxation response. HarperTorch.

Boekaerts, M., & Corno, L. (2005). Self-regulation in the classroom: A perspective on assessment and intervention. Applied Psychology: An International Review, 54(2), 199-231. https://doi.org/10.1111/j.1464-0597.2005.00205.x

Cirillo, F. (2006). The Pomodoro technique. FC Garage.

Clear, J. (2018). Atomic habits: An easy & proven way to build good habits & break bad ones. Avery.

Covey, S. R. (1989). The 7 habits of highly effective people: Powerful lessons in personal change. Free Press.

Mayer, R. E. (2005). The Cambridge handbook of multimedia learning. Cambridge University Press.

Bjork, R. A., & Bjork, E. L. (2011). Making things hard on yourself, but in a good way: Creating desirable difficulties to enhance learning. Psychonomic Bulletin & Review, 18(1), 57-64. https://doi.org/10.3758/s13423-010-0039-2

Buzan, T. (2010). The Mind Map Book: Unlock your creativity, boost your memory, change your life. BBC Active.

Cirillo, F. (2006). The Pomodoro technique: The life-changing time-management system. FC Garage.

Chi, M. T. H., Bassok, M., Lewis, M. W., Reimann, P., & Glaser, R. (1989). Self-explanations: How students study and use examples in learning to solve problems. Cognitive Science, 13(2), 145-182. https://doi.org/10.1207/s15516709cog1302_1

Ebbinghaus, H. (1885). Memory: A contribution to experimental psychology. Dover Publications.

Roediger, H. L., & Butler, A. C. (2011). The critical role of retrieval practice in long-term retention. Trends in Cognitive Sciences, 15(1), 20-27. https://doi.org/10.1016/j.tics.2010.09.003

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The new psychology of success. Random House.

Ditto, B., F., et al. (2008). Cognitive control in media multitaskers. Proceedings of the National Academy of Sciences, 105(6), 2889-2892. https://doi.org/10.1073/pnas.0711697105

Fogg, B. J. (2019). Tiny habits: The small changes that change everything. Houghton Mifflin Harcourt.

Mednick, S. C., Cai, D. J., Shuman, T., Anagnostaras, S. G., & Wixted, J. R. (2003). The relationship between sleep and memory in early adolescence. Developmental Science, 6(2), 166-170. https://doi.org/10.1111/1467-7687.00273

Steel, P. (2007). The nature of procrastination: A meta-analytic and theoretical review of quintessential self-regulatory failure. Psychological Bulletin, 133(1), 65-94. https://doi.org/10.1037/0033-2909.133.1.65

Duckworth, A. L. (2007). Grit: Perseverance and passion for long-term goals [Doctoral dissertation, University of Pennsylvania]. ProQuest Dissertations Publishing.

Duckworth, A. L. (2016). Grit: The power of passion and perseverance. Scribner.

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The new psychology of success. Random House.

Masten, A. S. (2001). Ordinary magic: Resilience processes in development. American Psychologist, 56(3), 227-238. https://doi.org/10.1037/0003-066X.56.3.227

Duckworth, A. L. (2016). Grit: The power of passion and perseverance. Scribner.

Godin, S. (2007). The dip: A little book that teaches you when to quit (and when to stick). Penguin Books.

Kahneman, D., & Tversky, A. (1979). Prospect theory: An analysis of decision under risk. Econometrica, 47(2), 263-291. https://doi.org/10.2307/1914185

McCullough, M. (2011). The psychology of giving up: Why some people quit and others keep going. Psychological Science, 22(5), 607-613. https://doi.org/10.1177/0956797611416254

Barrett, P., Zhang, Y., Moffat, J., & Kobbacy, K. (2015). A holistic, multi-level analysis identifying the impact of classroom design on learning in specific curriculum contexts. Building and Environment, 89, 118-133. https://doi.org/10.1016/j.buildenv.2015.02.018

Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The exercise of control. W.H. Freeman.

Cohen, J. (2006). The influence of environmental factors on the learning process. Journal of Environmental Psychology, 26(4), 251-259. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2006.07.001

Linder, A., Snell, M., & Bowman, D. (2016). Noise and learning: Effects of noise on student behavior and learning. Journal of Environmental Psychology, 42, 140-150. https://doi.org/10.1016/j.jenvp.2015.09.003

Raudenbush, S. W., Bryk, A. S., & Congdon, R. (2011). HLM 7: Hierarchical linear and nonlinear modeling. Scientific Software International.

Siemens, G. (2005). Connectivism: A learning theory for the digital age. International Journal of Instructional Technology and Distance Learning, 2(1), 3-10. https://www.itdl.org/Journal/Jan_05/article01.htm

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard University Press.

Cirillo, F. (2006). The Pomodoro Technique: The life-changing time-management system. FC Garage.

Covey, S. R. (2004). The 7 habits of highly effective people: Powerful lessons in personal change. Free Press.

Eisenhower, D. D. (1954). The Eisenhower Matrix: A system for prioritizing important tasks. Time Management Journal, 1(1), 15-17.

Gollwitzer, P. M. (1999). Implementation intentions: Strong effects of simple plans. American Psychologist, 54(7), 493-503. https://doi.org/10.1037/0003-066X.54.7.493

Locke, E. A., & Latham, G. P. (2002). Building a practically useful theory of goal setting and task motivation. American Psychologist, 57(9), 705-717. https://doi.org/10.1037/0003-066X.57.9.705

Macan, T. H. (1994). Time-management training: A review of the literature. Personnel Psychology, 47(4), 747-774. https://doi.org/10.1111/j.1744-6570.1994.tb01734.x

Mark, G., Gudith, D., & Klocke, U. (2008). The cost of interrupted work: More speed and stress. Proceedings of the SIGCHI Conference on Human Factors in Computing Systems, 107-110. https://doi.org/10.1145/1357054.1357072

Seiler, R. L. (2013). A study of time management practices and student success. The Journal of Business & Economics Research, 11(4), 221-228.

Steel, P. (2007). The nature of procrastination: A meta-analytic and theoretical review of quintessential self-regulatory failure. Psychological Bulletin, 133(1), 65-94. https://doi.org/10.1037/0033-2909.133.1.65

Cirillo, F. (2006). The Pomodoro Technique: The life-changing time-management system. FC Garage.

Eisenhower, D. D. (1954). The Eisenhower Matrix: A system for prioritizing important tasks. Time Management Journal, 1(1), 15-17.

Gollwitzer, P. M. (1999). Implementation intentions: Strong effects of simple plans. American Psychologist, 54(7), 493-503. https://doi.org/10.1037/0003-066X.54.7.493

Macan, T. H. (1994). Time-management training: A review of the literature. Personnel Psychology, 47(4), 747-774. https://doi.org/10.1111/j.1744-6570.1994.tb01734.x

McKeown, G. (2014). Essentialism: The disciplined pursuit of less. Crown Business.

Seiler, R. L. (2013). A study of time management practices and student success. The Journal of Business & Economics Research, 11(4), 221-228.

Buehler, R., Griffin, D., & Ross, M. (1994). Exploring the "planning fallacy": Why people underestimate their task completion times. Journal of Personality and Social Psychology, 67(3), 366-381. https://doi.org/10.1037/0022-3514.67.3.366

Kellogg, R. T. (2013). The psychology of writing. Oxford University Press.

Locke, E. A., & Latham, G. P. (2002). Building a practically useful theory of goal setting and task motivation. American Psychologist, 57(9), 705-717. https://doi.org/10.1037/0003-066X.57.9.705

Rosen, L. D., Lim, A. F., Carrier, L. M., & Cheever, N. A. (2011). An empirical examination of the educational impact of text message-induced task switching in the classroom. Computers in Human Behavior, 27(3), 1181-1192. https://doi.org/10.1016/j.chb.2010.12.001

Steel, P. (2007). The nature of procrastination: A meta-analytic and theoretical review of quintessential self-regulatory failure. Psychological Bulletin, 133(1), 65-94. https://doi.org/10.1037/0033-2909.133.1.65

Cirillo, F. (2006). The Pomodoro Technique: The life-changing time-management system. Random House.

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The new psychology of success. Random House.

Lichtman, M. (2014). Qualitative research in education: A user's guide (3rd ed.). SAGE Publications.

Macan, T. H., Spector, P. E., & Parris, D. L. (2009). The influence of time management on job stress. Journal of Occupational Health Psychology, 14(3), 287-297. https://doi.org/10.1037/a0015731

Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard University Press.

Zeigarnik, B. (1927). On finished and unfinished tasks. Psychological Research, 9(1), 1-85. https://doi.org/10.1007/BF02410034


0 komentar:

Posting Komentar